TAQLID, TALFIQ
DAN ITTIBA
Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
USHUL FIQIH
Dipresentasikan, 13 Oktober 2011
Oleh Kelompok XVI:
Taswirudin
Wardani Muhibbi
AS
Pembimbing:
H. Adam Malik
Indra. Lc, MA
FAKULTAS
TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI (UIN)
SULTAN
SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
2011
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kehadirat
Allah SWT, yang dengan rahmat dan inayah-Nya. Makalah ini disusun untuk
memenuhi mata kuliah Ushul Fiqih yang telah diberikan oleh dosen pembimbing
tepat waktunya walaupun cukup sederhana.
Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada Bapak H. Adam Malik Indra. Lc, MA selaku dosen pembimbing mata kuliah
Ushul Fiqih. Penulis juga berterima kasih pada teman-teman yang telah memberi
pengarahan dan petunjuk dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan
makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran dari
dosen pembimbing maupun teman-teman sangat penulis harapkan tegur sapanya untuk perbaikan
makalah ini dan selanjutnya.
Kepada Allah SWT, kami memohon taufik
dan hidayah-Nya semoga dalam pembuatan makalah ini senantiasa dalam
keridhaannya-Nya. Amin.
Pekanbaru, November 2011
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................ i
DAFTAR ISI.............................................................................................................. ii
BAB I. PENDAHULUAN
- Latar Belakang................................................................................................ 1
- Tujuan............................................................................................................. 1
BAB II. PEMBAHASAN
- Taqlid.............................................................................................................. 3
- Talfiq............................................................................................................... 6
- Ittiba’.............................................................................................................. 7
BAB III. PENUTUP
- Kesimpulan..................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 12
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ilmu Ushul Fiqh merupakan metode dalam menggali
dan menetapkan hukum, ilmu ini sangat berguna untuk membimbing para mujtahid
dalam mengistimbatkan hukum syara’ secara benar dan dapat dipertanggung
jawabkan hasilnya. Melalui ushul fiqh dapat ditemukan jalan keluar dalam
menyelesaikan dalil-dalil yang kelihatannya bertentangan dengan dalil lainnya.
Dalam ushul fiqh juga dibahas masalah talfiq,
taklid dan ittiba’. Ketiganya memiliki arti yang berbeda dan maksudnya pun
berbeda. Tetapi ketiga-tiganya sangat jelas diatur dalam Islam. Ittiba’ ini
didasarkan dalam Al-Qur’an surat An-nahl ayat 43 yang artinya : “Dan Kami tidak
mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada
mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu
tidak mengetahui.”
B.
Tujuan
Dalam pembuatan makalah ini penulis mempunyai maksud dan tujuan
antara lain :
- Memberi pemahaman tentang Pengertian Taqlid dan Talfiq, Perbedaan antara keduanya dengan Ittiba’ dan Hukm pembagiannya.
- Untuk bahan diskusi pada mata kuliah Ushul Fiqih
3.
Untuk memenuhi tugas mata
kuliah yang diberikan dosen pembimbimg.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
TAQLID
1.
Pengertian Taqlid
Secara
bahasa taqlid berasal dari kata قَلََّدَ (qallada) – يُقَلِّدُ(yuqollidu) – تَقْلِيْدًا(taqlîdan). Yang mengandung arti mengalungi,
menghiasi, meniru, menyerahkan, dan mengikuti.dalam definisi lain yaitu
menerima pendapat orang lain tanpa dikemukakan alasannya[1]
Menurut
Muhammad Rasyid Ridha, taqlid ialah mengikuti pandapat orang lain yang dianggap
terhormat dalam masyarakat serta dipercaya tentang suatu hukum agama Islam tanpa
memperhatikan benar atau salahnya, baik atau buruknya, manfaat atau mudlarat
hukum itu.
Sedangkan
menurut istilah taqlid adalah mengikut pendapat orang lain tanpa
mengetahui dari mana sumber
pengambilannya, apakah orang lain itu benar atau salah.[2] ketika seseorang mengikuti orang lain tanpa
dalil yang jelas, baik dalam hal ibadah, maupun dalam hal adat istiadat. Baik
yang diikuti itu masih hidup, atau pun sudah mati. Baik kepada orang tua maupun
nenek moyang, hal seperti itulah yang disebut dengan taqlid buta. Sifat inilah
yang disandang oleh orang-orang kafir dan dungu, dari dahulu kala hingga pada
zaman kita sekarang ini, dimana mereka menjalankan ibadah mereka sehari-hari
berdasarkan taqlid buta dan mengikuti perbuatan nenek-nenek moyang mereka yang
tidak mempunyai dalil dan argumen sama sekali. Allah swt berfirman:
Dan
apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan
Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa
yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah
mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui
suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". (QS. Al-Baqarah: 170).
2.
Hukum Taqlid
Dalam
menghukumi taqlid menurut para ulama terdapat 3 macam hukum: Pertama, Taqlid
yang diharamkan, kedua, Taqlid yang diwajibkan, dan ketiga, Taqlid yang
dibolehkan.[3]
Taqlid yang diharamkan.
Ulama sepakat haram
melakukan taqlid ini. Taqlid ini ada tiga macam :
- Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau orang dahulu kala yang bertentangan dengan al Qur`an Hadits.
- Taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa dia pantas diambil perkataannya.
- Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan yang bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah.
Taqlid yang dibolehkan
Adalah
taqlidnya seorang yang sudah mengerahkan usahanya untuk ittiba’ kepada apa yang
diturunkan Allah swt. Hanya saja sebagian darinya tersembunyi bagi orang
tersebut sehingga dia taqlid kepada orang yang lebih berilmu darinya, maka yang
seperti ini adalah terpuji dan tidak tercela, dia mendapat pahala dan tidak
berdosa. Taqlid ini sifatnya sementara. Misalnya taqlid sebagian mujtahid
kepada mujtahid lain, karena tidak ditemukan dalil yang kuat untuk pemecahan
suatu persoalan. Termasuk taqlidnya orang awam kepada ulama.
Ulama
muta-akhirin dalam kaitan bertaqlid kepada imam, membagi kelompok masyarakat
kedalam dua golongan:
a. Golongan awan[4] atau orang yang
berpendidikan wajib bertaqlid kepada salah satu pendapat dari keempat madzhab.
b. Golongan yang memenuhi syarat-syarat berijtihad, sehingga tidak
dibenarkan bertaqlid kepada ulama-ulama.
Golongan
awam harus mengikuti pendapat seseorang tanpa mengetahui sama sekali dasar
pendapat itu (taqlid dalam pengertian bahasa).
Syaikhul Islam lbnu Taimiyah berkata, “Adapun orang yang mampu
ijtihad apakah dibolehkan baginya taqlid ini adalah hal yang diperselisihkan,
dan yang shahih adalah dibolehkan ketika dia dalam keadaan tidak mampu
berijtihad entah karena dalil-dalil (dan pendapat yang berbeda) sama-sama kuat
atau karena sempitnya waktu untuk berijtihad atau karena tidak nampak dalil
baginya”
Taqlid yang diwajibkan
Adalah
taqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan sebagai dasar hujjah, yaitu
perkataan dan perbuatan Rasulullah saw. Juga apa yang dikatakan oleh lbnul
Qayyim: Sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkan agar bertanya kepada Ahlu
Dzikr, dan Adz-Dzikr adalah al-Qur’an dan al-Hadis yang Allah swt perintahkan
agar para istri Nabi-Nya selalu mengingatnya sebagaimana dalam firman-Nya:
Dan
ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah
nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui. (QS. al-Ahzab:34)
Inilah
Adz-Dzikr yang Allah SWT perintahkan agar kita selalu ittiba’(mengikuti)
kepadanya, dan Allah SWT perintahkan orang yang tidak memiliki ilmu agar
bertanya kepada ahlinya. Inilah yang wajib atas setiap orang agar bertanya
kepada ahli ilmu tentang Adz-Dzikr yang Allah SWT turunkan kepada Rasul-Nya
agar ahli ilmu ini memberitahukan kepadanya. Kalau dia sudah diberitahu tentang
Adz-Dzikr ini maka tidak boleh baginya kecuali ittiba’ kepadanya.
3.
Syarat-Syarat Taqlid
Tentang
syarat taqlid bisa dilihat dari dua hal, yaitu dengan syarat orang yang
bertaqlid dan syarat orang yang ditaqlidi[5].
a. Syarat-syarat orang yang bertaqlid
Syarat orang yang bertaqlid adalah orang awam atau orang biasa
yang tidak mengerti cara-cara mencari hukum syara’. Ia boleh mengikuti pendapat
orang lain yang lebih mengerti hukum-hukum syara’ dan mengamalkannnya.
b. Syarat-syarat orang yang ditaqlidi
Syarat yang ditaqlidi ada kalanya adalah hukum-hukum yang
berhubungan dengan hukum syara’. Dalam
hukum akal tidak boleh bertaqlid pada orang lain. Seperti mengetahui adanya zat
yang menciptakan alam serta sifat-sifatnya
Sedangkan dalam hukum
syara’ ada dua hal:
1.
Ada yang diketahui pasti
dari agama seperti wajibnya shalat 5 waktu, puasa ramadhan, haji, zakat, haram
zina dan minuman keras.
2.
Ada yang diketahui dengan
penyelidikan dengan mempergunkan dalil seperti soal ibadah-ibadah yang
kecil-kecil.
4.
Perkembangan Taqlid
Menurut
ahli tasryi’ zaman taqlid telah mengarungi tiga atau empat periode dalam
sejarah Islam[6]:
a.
Periode taqlid pertama
Sebagaimana yang telah kami terangkan bahwa permulaan IV Hijriah,
taqlid mulai mempengaruhi ulama Islam. Masing-masing ulama mulai menegakkan
fatwa imamnya dan menyeru umatnya supaya bertaqlid kepada mazhab yang
dianutnya.
b.
Periode taqlid yang kedua
Di dalam periode taqlid pertama, keberadaan taqlid belum merata.
Banyak juga ulama yang berijtihad, walaupun tidak sebagai ulama Mujtahidin di
masa Bani Umayyah Dan permulaan masa Bani Abbas.
c.
Periode taqlid yang ketiga
Adapun dalam periode ini, roh ijtihad telah padam sekali sunyi
senyap bagaikan keadaan ditengah malam. Fatwa haram berijtihadpun semakin
marak.
d.
Periode taqlid yang keempat
Ketika Muhammad Abduh muncul dalam masyarakat Mesir muncullah
ulama-ulama Muqallid memberikan tantangan yang mendahsyatkan. Muhammad Abduh
menyerukan kepada ulama untuk berijtihad dan menyingkap tirai taqlid
Sebab berjangkitnya
ruhhut taqlid dan hilangnya ruh ijtihad
banyak sekali diantaranya adalah:
1.
Usaha murid-murid mujtahidin
yang berpengaruh dalam masyarakat.
2.
Kehakiman dan pengadilan
3.
Terbuka mazhab.
B.
TALFIQ
1.
Pengertian Talfiq Dan hukumnya
Talfiq berarti “manyamakan”
atau “merapatkan dua tepi yang berbeda”. Menurut istilah, talfiq ialah beramal dalam suatu masalah atas
dasar hukum yang terdiri dari gabungan dua mazhab
atau lebih[7]. Contoh nikah tanpa wali dan saksi adalah sah asal ada
pengumuman. Menurut madzhab Hanafi, sah nikah tanpa wali, sedangkan menurut
madzhab Maliki, sah akad nikah tanpa saksi.
Pada dasarnya talfiq dibolehkan dalam agama, selama tujuan melaksanakan talfiq
itu semata-mata untuk melaksanakan pendapat yang paling benar setelah meneliti
dasar hukum dari pendapat itu dan mengambil yang lebih kuat dasar hukumnya. Ada
talfiq yang tujuannya mencari
yang mudah, ialah mengambil dari tiap mazhab yang enteng[8]. Talfiq semacam ini yang dicela para ulama.
Mengenai hukum talfiq ulama terbagi kepada dua kelompok tentang hukum talfîq. Satu
kelompok mengharamkan, dan satu kelompok lagi membolehkan. Ulama Hanafiyah
mengklaim ijma' kaum muslimin atas keharaman talfiq. Sedangkan di kalangan
Syafi'iyah, hal itu menjadi sebuah ketetapan. Ibnu Hajar mengatakan: ”Pendapat yang membolehkan talfiq adalah
menyalahi ijma'.
Dalil Kelompok yang Mengharamkan Talfiq
Mereka
mendasarkan pendapatnya pada perkataan ulama ushul fiqh tentang ijma' atas
ketidakbolehan menciptakan pendapat ketiga apabila para ulama terbagi kepada
dua kelompok tentang hukum suatu perkara. Karena menurut mayoritas ulama, tidak
boleh menciptakan pendapat ketiga yang meruntuhkan (menyalahi) sesuatu yang
telah disepakati. Misalnya 'iddah wanita hamil yang suaminya meninggal dunia, terdapat
dua pendapat, pertama: hingga melahirkan, kedua: yang paling jauh (lama) dari
dua tempo 'iddah(‘iddah melahirkan dan ‘iddah yang ditinggal oleh suaminya
karena kematian). Maka tidak boleh menciptakan pendapat ketiga, misalnya dengan
beberapa bulan saja.
Akan tetapi
jika ditinjau lebih dalam, terlihat bahwa alasan ini tidak bisa dibenarkan
sepenuhnya, karena meng-qiyaskan talfiq atas ihdaatsu qaul tsaalits
(menciptakan pendapat ketiga) adalah merupakan qiyas antara dua hal yang
berbeda. Hal itu dapat dilihat dari dua sisi:
- Terciptanya pendapat ketiga terjadi apabila permasalahannya hanya satu, sedangkan talfiq terjadi dalam beberapa permasalahan. Misalnya, kefardhuan menyapu kepala adalah sebuah permasalahan, sementara permasalahan batalnya wudhu' karena bersentuhan dengan wanita adalah permasalahan lain. Jadi talfiq terjadi bukan dalam satu permasalahan, maka tidak terjadi pendapat ketiga.
- Berdasarkan pada pendapat yang paling kuat, dalam permasalahan talfiq tidak terdapat suatu sisi yang disepakati oleh para ulama. Misalnya, persoalan menyapu kepala merupakan khilaf di kalagan ulama, apakah wajib seluruhnya ataukah sebagian saja. Demikian pula batalnya wudhu' dengan menyentuh perempuan merupakan permasalahan yang menjadi khilaf, apakah ia memang membatalkan wudhu' ataukah tidak. Maka, dalam perkara talfiq, tidak ada sisi yang disepakati (ijma')
Dalil Kelompok yang Membolehkan
Para ulama yang membolehkan
talfiq, mereka berdalil dengan beberapa alasan:
- Tidak adanya nash di dalam al-Quran atau pun as-Sunnah yang melarang talfiq ini. Setiap orang berhak untuk berijtihad dan tiap orang berhak untuk bertaqlid kepada ahli ijtihad. Dan tidak ada larangan bila kita sudah bertaqlid kepada satu pendapat dari ahli ijtihad untuk bertaqlid juga kepada ijtihad orang lain. Di kalangan para sahabat nabi saw terdapat para shahabat yang ilmunya lebih tinggi dari yang lainnya. Banyak shahabat yang lainnya kemudian menjadikan mereka sebagai rujukan dalam masalah hukum.
- Pada hari ini, nyaris orang-orang sudah tidak bisa bedakan lagi, mana pendapat Syafi''i dan mana pendapat Maliki, tidak ada lagi yang tahu siapa yang berpendapat apa, kecuali mereka yang secara khusus belajar di fakultas syariah jurusan perbandingan mazhab. Dan betapa sedikitnya jumlah mereka hari ini dibandingkan dengan jumlah umat Islam secara keseluruhan. Maka secara pasti dan otomatis, semua orang akan melakukan talfiq, dengan disadari atau tidak. Kalau hukum talfiq ini diharamkan, maka semua umat Islam di dunia ini berdosa. Dan ini tentu tidak logis dan terlalu mengada-ada.
- Nabi saw melalui Aisyah disebutkan: “Nabi tidak pernah diberi dua pilihan, kecuali beliau memilih yang paling mudah, selama hal tersebut bukan berupa dosa. Jika hal tersebut adalah dosa, maka beliau adalah orang yang paling menjauhi hal tersebut“.
3.
Ruang Lingkup
Talfiq
sama seperti taqlid dalam hal ruang lingkupnya, yaitu hanya pada
perkara-perkara ijtihad yang bersifat zhanniyah (perkara yang belum diketahui
secara pasti dalam agama). Adapun hal-hal yang diketahui dari agama secara pasti
(ma’luumun minaddiini bidhdharuurah), dan perkara-perkara yang telah menjadi
ijma’, yang mana mengingkarinya adalah kufr, maka di situ tidak boleh ada
taqlid, apalagi talfiq
4.
Pandangan Ulama Ushul Tentang Talfiq
Fuqaha
dan ahlu ushul berbeda pendapat tentang hukum talfiq ini, yaitu boleh tidaknya
seseorang berpindah mazhab baik secara keseluruhan maupun sebagian, maka kita
lebih lanjut pendapat mereka:[9]
1.
Pendapat pertama, mengatakan bila seseorang telah memiliki salah
satu mazhab, maka ia harus tetap pada mazhab yang dipilihnya.
2. Pendapat kedua,
mengatakan bahwa seseorang yang telah memilih salah satu mazhab boleh berpindah
ke mazhab lain walaupun untuk mencari keringanan dengan ketentuan hal itu tidak
terjadi dalam satu kasus hukum yang menurut mazhab pertama dan mazhab kedua
sama-sama memandang batal.
3. Pendapat ketiga, bahwa
sesorang yang telah memilih salah satu mazhab tidak ada larangan agama terhadap
dirinya untuk pindah ke mazhab lain, walupun di dorong untuk mencari keringanan
ia dibenarkan mengambil pendapat dari tiap-tiap mazhab yang dipandangnya mudah
dan gampang dengan alasan rasulullah kalau disuruh dipilih dua perkaraa beliau
yng paling mudah selama itu tidak membawa dosa.
5.
Sebab-sebab Terjadinya Talfiq
Persoalan talfiq ini tidak ditemukan didalam kitab ulama salaf
bahkan tidak pernah dibicarakan secara serius dikalangan mereka. Oleh karena
itu, dapat dikatakan bahwa talfiq sebenarnya adalah masalah yang baru kita
kenal didalam fiqih permasalahan dewasa ini yang sengaja dibuat oleh ulama
khalaf, khususnya pada abad kelima hijriah. Ulama-ulama mutakhirin (khalaf)
yang memproklamirkan bahwa pintu ijtihad telah tertutup, mengakibatkan
berjangkitnya taqlid yang mulai dirasakan oleh dunia Islam, khususnya
ulama-ulama Islam pada masa itu
Dari
sinilah muncul pendapat bahwa seorang harus terikat dengan salah satu mazhab
lain, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Pindah dari satu mazhab ke
mazhab lain secara sebagian inilah yang disebut talfiq.
C.
ITTIBA
1.
Pengertian Dan Hukum Ittiba’
Menurut
bahasa Ittiba’ berasal dari bahasa arab adalah mashdar (kata bentukan) dari
kata ittaba’a (اتَبَعَ) yang
berarti mengikuti. Ada beberapa kalimat yang semakna dengannya diantaranya
iqtifa’ (اقتفاء)(menelusuri jejak), qudwah(قدوة) (bersuri teladan) dan uswah(أسوة) (berpanutan). Dikatakan
mengikuti sesuatu jika berjalan mengikuti jejaknya dan mengiringinya. Dan kata
ini berkisar pada makna menyusul, mencari, mengikuti, meneladani dan mencontoh.
Sedangkan
menurut istilah ittiba’ adalah mengikuti pendapat seseorang baik itu ulama atau
yang lainnya dengan didasari pengetahuan dalil yang dipakai oleh ulama
tersebut. Ibnu Khuwaizi Mandad mengatakan : "Setiap orang yang engkau
ikuti dengan hujjah dan dalil padanya, maka engkau adalah muttabi’(orang yang
mengikuti).
Menurut ulama
ushul, ittiba` adalah mengikuti atau menuruti semua yang diperintahkan, yang
dilarang, dan dibenarkan Rasulullah saw. Dengan kata lain ialah melaksanakan
ajaran-ajaran agama Islam sesuai dengan yang dikerjakan Nabi Muhammad saw[10]. Definisi lainnya, ittiba`
ialah pengambilan
hukum dengan mengetahui dalil dan alasan-alasannya dan ia diketahui dengan
jalan yang ditunjuki oleh mujtahid[11]. Ittiba` ditetapkan berdasarkan hujjah atau nash. Ittiba`
adalah lawan taqlid.
2.
Macam-macam Ittiba’
a.
Ittiba` kepada Allah dan
Rasul-Nya
b. Ittiba` kepada selain Allah dan Rasul-Nya
Ulama
berbeda pendapat, ada yang membolehkan ada yang tidak membolehkan. Imam Ahmad
bin Hanbal menyatakan bahwa ittiba` itu hanya dibolehkan kepada Allah, Rasul,
dan para sahabat saja, tidak boleh kepada yang lain. Pendapat yang lain
membolehkan berittiba` kepada para ulama yang dapat dikatagorikan sebagai ulama
waratsatul anbiyaa (ulama pewaris para Nabi
3.
Tujuan Ittiba’
Jelaslah
bagi kita bahwa ittiba’ termasuk satu perbuatan yang utama. Dan hukumnya adalah
wajib kalau sekiranya. Kita tidak dapat berijtihad sendiri. Dan inilah tujuan
kita sebagai orang-orang muslim agar kita dapat memhami secara baik agama kita
dan semua peraturan-peraturan yang ada didalamnya.[12]
Dari
penjelasan diatas bisa kita simpulkan bahwa yang berhak kita berittiba’
kepadanya adalah mereka yang pendapatnya didasari dengan dalil yang jelas,
dalam hal ini Rasulullah saw adalah orang yang paling berhak kita ikuti hal itu
sebagaimana Allah swt berfirman,
Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab: 21).
Dalam ayat lain Allah swt
berfirman:
وَمَا
آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa
yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7).
Imam Ahmad bin Hanbal
menyatakan: Ittiba’ adalah seseorang mengikuti apa yang datang dari Rasulullah
saw dan para shahabatnya.
Ittiba’
kepada Nabi saw dalam perkataan akan terwujud dengan melaksanakan kandungan dan
makna-makna yang ada padanya. Bukan dengan mengulang-ulang lafadz dan nashnya
saja. Sebagai contoh sabda beliau saw:
“Shalatlah kalian
sebagaimana kalian melihat aku shalat.”.(HR. Bukhori).
Ittiba’ kepadanya adalah
dengan melaksanakan shalat seperti shalat beliau.
Sedangkan
ittiba’ kepada Nabi saw di dalam perkara-perkara yang ditinggalkan adalah
dengan meninggalkan perkara-perkara yang beliau tinggalkan, yaitu
perkara-perkara yang tidak disyariatkan. Sesuai dengan tata cara dan ketentuan
Nabi saw di dalam meninggalkannya, dengan alasan karena Nabi saw
meninggalkannya. Dan ini adalah batasan yang sama dengan batasan ittiba’ di
dalam perbuatan.
Hukum Ittiba’
Seorang
muslim wajib ittiba’ kepada Rasulullah saw dengan menempuh jalan yang beliau
tempuh dan melakukan apa yang beliau lakukan. Begitu banyak ayat al-Qur’an yang
memerintahkan setiap muslim agar selalu ittiba’ kepada Rasulullah saw di
antaranya firman Allah swt.
Katakanlah:
"Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang kafir." (QS. Ali lmran: 32).
Dalam ayat lain Allah swt
berfirman:
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui (QS. al-Hujurat:1).
Demikian
juga Allah SWT memerintahkan setiap muslim agar ittiba’ kepada sabilil mukminin
yaitu jalan para sahabat Rasulullah saw dan mengancam dengan hukuman yang berat
kepada siapa saja yang menyeleweng darinya:
Dan
barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam,
dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An-Nisa’: 115).
Kedudukan Ittiba’ Dalam
Islam
Ittiba'
kepada Rasulullah saw mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam,
bahkan merupakan salah satu pintu seseorang dapat masuk Islam. Berikut ini akan
disebutkan beberapa kedudukan penting yang ditempati oleh ittiba', di antaranya
adalah:
Pertama, Ittiba' kepada Rasulullah
saw adalah salah satu syarat diterima amal. Sebagaimana para ulama telah
sepakat bahwa syarat diterimanya ibadah ada dua:
- Mengikhlaskan niat ibadah hanya untuk Allah SWT semata.
- Harus mengikuti dan serupa dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah saw.
Ibnu 'Ajlan mengatakan: "Tidak sah suatu amalan
melainkan dengan tiga perkara: taqwa kepada Allah swt, niat yang baik (ikhlas)
dan ishabah (sesuai dan mengikuti sunnah Rasul)." Maka barangsiapa
mengerjakan suatu amal dengan didasari ikhlas karena Allah SWT semata dan
serupa dengan sunnah Rasulullah saw, niscaya amal itu akan diterima oleh Allah
SWT. Akan tetapi kalau hilang salah satu dari dua syarat tersebut, maka amal
itu akan tertolak dan tidak diterima oleh Allah swt. Hal inilah yang sering
luput dari pengetahuan banyak orang. Mereka hanya memperhatikan satu sisi saja
dan tidak memperdulikan yang lainnya. Oleh karena itu sering kita dengar mereka
mengucapkan: "yang penting niatnya, kalau niatnya baik, maka amalnya
baik."
Kedua, Ittiba' merupakan bukti kebenaran cinta
seseorang kepada Allah swt dan Rasul-Nya. Allah swt berfirman:
Katakanlah:
"Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang (QS. Ali Imran: 31).
Ibnu Katsir
menafsirkan ayat ini dengan ucapannya: "Ayat yang mulia ini sebagai hakim
bagi setiap orang yang mengaku cinta kepada Allah SWT, akan tetapi tidak
mengikuti sunnah Muhammad saw. Karena orang yang seperti ini berarti dusta
dalam pengakuan cintanya kepada Allah SWT sampai dia ittiba' kepada syari'at
agama Nabi Muhammad saw dalam segala ucapan dan tindak tanduknya."
Ketiga, Ittiba' adalah sifat yang
utama wali-wali Allah SWT. Ibnu Taimiyah dalam kitabnya menjelaskan panjang lebar perbedaan
antara waliyullah dan wali syaitan, diantaranya beliau menjelaskan tentang wali
Allah SWT dengan ucapannya: "Tidak boleh dikatakan wali Allah SWT kecuali
orang yang beriman kepada Rasulullah saw dan syari'at yang dibawanya serta
ittiba' kepadanya baik lahir maupun batin. Barangsiapa mengaku cinta kepada
Allah SWT dan mengaku sebagai wali Allah SWT, tetapi dia tidak ittiba' kepada
Rasul-Nya, berarti dia berdusta. Bahkan kalau dia menentang Rasul-Nya, dia
termasuk musuh Allah SWT dan sebagai wali syaitan."
Imam Ibnu
Abil 'Izzi Al-Hanafi berkata: "Pada hakikatnya yang dinamakan karamah itu
adalah kemampuan untuk senantiasa istiqamah di atas al-haq, karena Allah swt
tidak memuliakan hamba-Nya dengan suatu karamah yang lebih besar dari
taufiq-Nya yang diberikan kepada hamba itu untuk senantiasa menyerupai apa yang
dicintai dan diridhai-Nya yaitu istiqamah di dalam mentaati Allah swt dan
Rasul-Nya dan ber-wala kepada wali-wali Allah swt serta bara' dari
musuh-musuh-Nya." Mereka itulah wali-wali Allah swt sebagaimana tersebut
dalam firman-Nya:
"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah swt itu, tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (QS.
Yunus: 62).
Demikianlah
beberapa kedudukan ittiba' yang tinggi dalam syari'at Islam dan masih banyak
lagi kedudukan yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa ittiba' kepada
Rasulullah saw merupakan suatu amal yang teramat besar dan banyak mendapat rintangan.
Mudah-mudahan Allah SWT menjadikan kita termasuk orang-orang yang ittiba'
kepada Nabi-Nya dalam segala aspek kehidupan kita, sehingga kita akan bertemu
Allah swt dengan membawa husnul khatimah. Amien, ya Rabbal Alamin.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pengertian Taqlid dan Ittiba’ serta talfiq
di atas maka dapat disimpulkan bahwa taqlid ini mengikuti atau mengambil
pendapat seorang mujtahid tanpa mengetahui dasar dimana dalam taqlid ada hukum amaliyah
yang tidak memerlukan penelitian dan ada pula taqlid yang memerlukan penelitian
dan ijtihad, sedangkan mengikuti pendapat mujtahid dengan mengetahui sumber
pengambilannya. memilih ajaran adalah merupakan perbuatan talfiq. Seseorang
boleh bertaqlid apabila perkataan atau pendapat yang diikuti atau yang diterima
itu tidak diketahui dasar atau alasannya apakah ada dalam Al-Qur’an dan hadits
bahkan atau tidak sama sekali, akan tetapi taqlid ini hanya dilakukan selama
belum diketahui dalil yang kuat yang dapat memecahkan persoalan tersebut.
Ittiba’ berarti menurut atau mengikuti semua
yang diperintahkan, dilarang oleh Allah dan dibenarkan oleh Rasulullah SAW.
Sedangkan orang yang mengikuti disebut muttabi’. Talfiq dilakukan untuk
mencari-cari mana yang mudah dan mengambil dari tiap-tiap mazhab untuk mencari
mana yang mudah.
Talfiq adalah menghimpun atau bertaqlid dengan
dua imam madzhab atau lebih dalam satu perbuatan yang memiliki rukun,
bagian-bagian yang terkait satu dengan lainnya yang memiliki hukum khusus. Ia
kemudian mengikuti satu dari pendapat yang ada.
Bagi siapapun yang berkeinginan menjadi umat Rasulullah saw yang benar, taat dan patuh, hendaknya mengikuti apa yang beliau perintahkan (ittiba’) dan jangan mengikuti apa bukan dari rasulullah saw dan jangan sembarangan mengikuti apa yang bukan datang dari beliau melalui lisannya para ulama dan salafushalih karena tidak mengetahui dasar hukum (taklid). Begitupun janganlah kita termasuk umat beliau yang memilah dan memilih ajaran, yang mudah-mudah dilaksanakan yang dianggap sukar ditinggalkan. Pada dasarnya Islam datang membawa kemudahan.
Bagi siapapun yang berkeinginan menjadi umat Rasulullah saw yang benar, taat dan patuh, hendaknya mengikuti apa yang beliau perintahkan (ittiba’) dan jangan mengikuti apa bukan dari rasulullah saw dan jangan sembarangan mengikuti apa yang bukan datang dari beliau melalui lisannya para ulama dan salafushalih karena tidak mengetahui dasar hukum (taklid). Begitupun janganlah kita termasuk umat beliau yang memilah dan memilih ajaran, yang mudah-mudah dilaksanakan yang dianggap sukar ditinggalkan. Pada dasarnya Islam datang membawa kemudahan.
DAFTAR PUSTAKA
A Hanafi, Pengantar Dan Sejarah Hukum
Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Khairul Uman, Ahyar Aminuddin, Ushul Fiqih II, Bandung: CV Pustaka
Setia, 1989.
M.T. Hasbi Ash Shiddiqy, Pengantar Ilmu fiqih, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Syaikh Muhammad Al-Khudri, Ushul
Fiqih, Jakarta: Pustaka Amani, 2007.
Azharaziz 2010. Persoalan Tentang ijtihad, Ittiba,
Taqlid . http://azharazizblog.blogspot.com. Diakses Tanggal 9
Oktober 2011
Deri Adlis 2010. Ushul Fiqhfiqh Ijtihad
Taqlid Ittiba. http://deriaadlis.blogspot.com. Diakses
Tanggal 9 Oktober 2011.
Haryono 2010.Ushul Fiqih . http://haryono10182.wordpress.com.
Diakses Tanggal 9 Oktober 2011.
Yudianingsih
2011. Ijtihad. http://st289771.sitekno.com.
Diakses Tanggal 9 Oktober 2011.
[1] A
Hanafi, Pengantar Dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal. 176.
[2] Khairul
Uman, Ahyar Aminuddin, Ushul Fiqih II, (Bandung:
CV Pustaka Setia, 1989), hal. 154.
[3] Haryono
2010.Ushul Fiqih . http://haryono10182.wordpress.com. Diakses Tanggal 9 Oktober
2011
[4] Orang awam diwajibakan untuk meminta dan
mengikuti ulama. Lihat Syaikh Muhammad Al-Khudri, Ushul
Fiqih, Jakarta: Pustaka Amani, 2007, hal 845.
[5] Khairul
Uman, Ahyar Aminuddin, Ushul Fiqih II, (Bandung:
CV Pustaka Setia, 1989), hal.156.
[6] Khairul
Uman, Ahyar Aminuddin, Ushul Fiqih II, (Bandung:
CV Pustaka Setia, 1989), 156.
[8] M.T. Hasbi Ash Shiddiqy, Pengantar Ilmu fiqih, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hal. 237.
[9] Khairul Uman, Ahyar Aminuddin, Ushul Fiqih II, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1989), hal. 165.
[10] Deri Adlis
2010. Ushul Fiqhfiqh Ijtihad Taqlid Ittiba. http://deriaadlis.blogspot.com.
Diakses Tanggal 9 Oktober 2011
[11] Azharaziz 2010.
Persoalan Tentang ijtihad, Ittiba, Taqlid . http://azharazizblog.blogspot.com.
Diakses Tanggal 9 Oktober 2011
[12] Khairul
Uman, Ahyar Aminuddin, Ushul Fiqih II, (Bandung:
CV Pustaka Setia, 1989), hal, hal 163.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar