Rabu, 04 Januari 2012

taclid talfiq dan ittiba


TAQLID, TALFIQ DAN ITTIBA

uin.JPG

Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
USHUL FIQIH
Dipresentasikan, 13 Oktober 2011




Oleh Kelompok XVI:
Taswirudin
Wardani Muhibbi AS




Pembimbing:
H. Adam Malik Indra. Lc, MA



FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
2011


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT, yang dengan rahmat dan inayah-Nya. Makalah ini disusun untuk memenuhi mata kuliah Ushul Fiqih yang telah diberikan oleh dosen pembimbing tepat waktunya walaupun cukup sederhana.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak H. Adam Malik Indra. Lc, MA selaku dosen pembimbing mata kuliah Ushul Fiqih. Penulis juga berterima kasih pada teman-teman yang telah memberi pengarahan dan petunjuk dalam pembuatan makalah ini. 
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran dari dosen pembimbing maupun teman-teman sangat penulis  harapkan tegur sapanya untuk perbaikan makalah ini dan selanjutnya.
Kepada Allah SWT, kami memohon taufik dan hidayah-Nya semoga dalam pembuatan makalah ini senantiasa dalam keridhaannya-Nya. Amin.

                                                                    Pekanbaru,  November 2011


                                                                                     Penulis





DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................ i
DAFTAR ISI.............................................................................................................. ii
BAB I. PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang................................................................................................ 1
  2. Tujuan............................................................................................................. 1
BAB II. PEMBAHASAN
  1. Taqlid.............................................................................................................. 3
  2. Talfiq............................................................................................................... 6
  3. Ittiba’.............................................................................................................. 7

BAB III. PENUTUP
  1. Kesimpulan..................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 12









BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Ilmu Ushul Fiqh merupakan metode dalam menggali dan menetapkan hukum, ilmu ini sangat berguna untuk membimbing para mujtahid dalam mengistimbatkan hukum syara’ secara benar dan dapat dipertanggung jawabkan hasilnya. Melalui ushul fiqh dapat ditemukan jalan keluar dalam menyelesaikan dalil-dalil yang kelihatannya bertentangan dengan dalil lainnya.
Dalam ushul fiqh juga dibahas masalah talfiq, taklid dan ittiba’. Ketiganya memiliki arti yang berbeda dan maksudnya pun berbeda. Tetapi ketiga-tiganya sangat jelas diatur dalam Islam. Ittiba’ ini didasarkan dalam Al-Qur’an surat An-nahl ayat 43 yang artinya : “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”

B.     Tujuan
Dalam pembuatan makalah ini penulis mempunyai maksud dan tujuan antara lain :
  1. Memberi pemahaman tentang Pengertian Taqlid dan Talfiq, Perbedaan antara keduanya dengan Ittiba’ dan Hukm pembagiannya.
  2. Untuk bahan diskusi pada mata kuliah Ushul Fiqih
3.      Untuk memenuhi tugas mata kuliah yang diberikan dosen pembimbimg.









BAB II
PEMBAHASAN
A.     TAQLID
1.      Pengertian Taqlid
Secara bahasa taqlid berasal dari kata قَلََّدَ (qallada) – يُقَلِّدُ(yuqollidu) – تَقْلِيْدًا(taqlîdan). Yang mengandung arti mengalungi, menghiasi, meniru, menyerahkan, dan mengikuti.dalam definisi lain yaitu menerima pendapat orang lain tanpa dikemukakan alasannya[1]
Menurut Muhammad Rasyid Ridha, taqlid ialah mengikuti pandapat orang lain yang dianggap terhormat dalam masyarakat serta dipercaya tentang suatu hukum agama Islam tanpa memperhatikan benar atau salahnya, baik atau buruknya, manfaat atau mudlarat hukum itu.
Sedangkan menurut istilah taqlid adalah mengikut pendapat orang lain tanpa mengetahui  dari mana sumber pengambilannya, apakah orang lain itu benar atau salah.[2]  ketika seseorang mengikuti orang lain tanpa dalil yang jelas, baik dalam hal ibadah, maupun dalam hal adat istiadat. Baik yang diikuti itu masih hidup, atau pun sudah mati. Baik kepada orang tua maupun nenek moyang, hal seperti itulah yang disebut dengan taqlid buta. Sifat inilah yang disandang oleh orang-orang kafir dan dungu, dari dahulu kala hingga pada zaman kita sekarang ini, dimana mereka menjalankan ibadah mereka sehari-hari berdasarkan taqlid buta dan mengikuti perbuatan nenek-nenek moyang mereka yang tidak mempunyai dalil dan argumen sama sekali. Allah swt berfirman:

Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".  (QS. Al-Baqarah: 170).

2.      Hukum Taqlid
Dalam menghukumi taqlid menurut para ulama terdapat 3 macam hukum: Pertama, Taqlid yang diharamkan, kedua, Taqlid yang diwajibkan, dan ketiga, Taqlid yang dibolehkan.[3]
Taqlid yang diharamkan.
Ulama sepakat haram melakukan taqlid ini. Taqlid ini ada tiga macam :
  1. Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau orang dahulu kala yang bertentangan dengan al Qur`an Hadits.
  2. Taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa dia pantas diambil perkataannya.
  3. Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan yang bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah.
Taqlid yang dibolehkan
Adalah taqlidnya seorang yang sudah mengerahkan usahanya untuk ittiba’ kepada apa yang diturunkan Allah swt. Hanya saja sebagian darinya tersembunyi bagi orang tersebut sehingga dia taqlid kepada orang yang lebih berilmu darinya, maka yang seperti ini adalah terpuji dan tidak tercela, dia mendapat pahala dan tidak berdosa. Taqlid ini sifatnya sementara. Misalnya taqlid sebagian mujtahid kepada mujtahid lain, karena tidak ditemukan dalil yang kuat untuk pemecahan suatu persoalan. Termasuk taqlidnya orang awam kepada ulama.
Ulama muta-akhirin dalam kaitan bertaqlid kepada imam, membagi kelompok masyarakat kedalam dua golongan:
a.       Golongan awan[4] atau orang yang berpendidikan wajib bertaqlid kepada salah satu pendapat dari keempat madzhab.
b.      Golongan yang memenuhi syarat-syarat berijtihad, sehingga tidak dibenarkan bertaqlid kepada ulama-ulama.
Golongan awam harus mengikuti pendapat seseorang tanpa mengetahui sama sekali dasar pendapat itu (taqlid dalam pengertian bahasa). Syaikhul Islam lbnu Taimiyah berkata, “Adapun orang yang mampu ijtihad apakah dibolehkan baginya taqlid ini adalah hal yang diperselisihkan, dan yang shahih adalah dibolehkan ketika dia dalam keadaan tidak mampu berijtihad entah karena dalil-dalil (dan pendapat yang berbeda) sama-sama kuat atau karena sempitnya waktu untuk berijtihad atau karena tidak nampak dalil baginya”

Taqlid yang diwajibkan
Adalah taqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan sebagai dasar hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan Rasulullah saw. Juga apa yang dikatakan oleh lbnul Qayyim: Sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkan agar bertanya kepada Ahlu Dzikr, dan Adz-Dzikr adalah al-Qur’an dan al-Hadis yang Allah swt perintahkan agar para istri Nabi-Nya selalu mengingatnya sebagaimana dalam firman-Nya:
Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui. (QS. al-Ahzab:34)

Inilah Adz-Dzikr yang Allah SWT perintahkan agar kita selalu ittiba’(mengikuti) kepadanya, dan Allah SWT perintahkan orang yang tidak memiliki ilmu agar bertanya kepada ahlinya. Inilah yang wajib atas setiap orang agar bertanya kepada ahli ilmu tentang Adz-Dzikr yang Allah SWT turunkan kepada Rasul-Nya agar ahli ilmu ini memberitahukan kepadanya. Kalau dia sudah diberitahu tentang Adz-Dzikr ini maka tidak boleh baginya kecuali ittiba’ kepadanya.

3.      Syarat-Syarat Taqlid
Tentang syarat taqlid bisa dilihat dari dua hal, yaitu dengan syarat orang yang bertaqlid dan syarat orang yang ditaqlidi[5].
a.       Syarat-syarat orang yang bertaqlid
Syarat orang yang bertaqlid adalah orang awam atau orang biasa yang tidak mengerti cara-cara mencari hukum syara’. Ia boleh mengikuti pendapat orang lain yang lebih mengerti hukum-hukum syara’ dan mengamalkannnya.


b.      Syarat-syarat orang yang ditaqlidi
Syarat yang ditaqlidi ada kalanya adalah hukum-hukum yang berhubungan  dengan hukum syara’. Dalam hukum akal tidak boleh bertaqlid pada orang lain. Seperti mengetahui adanya zat yang menciptakan alam serta sifat-sifatnya
Sedangkan dalam hukum syara’ ada dua hal:
1.      Ada yang diketahui pasti dari agama seperti wajibnya shalat 5 waktu, puasa ramadhan, haji, zakat, haram zina dan minuman keras.
2.      Ada yang diketahui dengan penyelidikan dengan mempergunkan dalil seperti soal ibadah-ibadah yang kecil-kecil.
4.      Perkembangan Taqlid
Menurut ahli tasryi’ zaman taqlid telah mengarungi tiga atau empat periode dalam sejarah Islam[6]:
a.       Periode taqlid pertama
Sebagaimana yang telah kami terangkan bahwa permulaan IV Hijriah, taqlid mulai mempengaruhi ulama Islam. Masing-masing ulama mulai menegakkan fatwa imamnya dan menyeru umatnya supaya bertaqlid kepada mazhab yang dianutnya.
b.      Periode taqlid yang kedua
Di dalam periode taqlid pertama, keberadaan taqlid belum merata. Banyak juga ulama yang berijtihad, walaupun tidak sebagai ulama Mujtahidin di masa Bani Umayyah Dan permulaan masa Bani Abbas.
c.       Periode taqlid yang ketiga
Adapun dalam periode ini, roh ijtihad telah padam sekali sunyi senyap bagaikan keadaan ditengah malam. Fatwa haram berijtihadpun semakin marak.
d.      Periode taqlid yang keempat
Ketika Muhammad Abduh muncul dalam masyarakat Mesir muncullah ulama-ulama Muqallid memberikan tantangan yang mendahsyatkan. Muhammad Abduh menyerukan kepada ulama untuk berijtihad dan menyingkap tirai taqlid
Sebab berjangkitnya ruhhut taqlid  dan hilangnya ruh ijtihad banyak sekali diantaranya adalah:
1.      Usaha murid-murid mujtahidin yang berpengaruh dalam masyarakat.
2.      Kehakiman dan pengadilan
3.      Terbuka mazhab.

B.     TALFIQ
1.      Pengertian Talfiq Dan hukumnya
Talfiq berarti “manyamakan” atau “merapatkan dua tepi yang berbeda”. Menurut istilah, talfiq ialah beramal dalam suatu masalah atas dasar   hukum  yang  terdiri  dari gabungan dua mazhab atau  lebih[7]. Contoh nikah tanpa wali dan saksi adalah sah asal ada pengumuman. Menurut madzhab Hanafi, sah nikah tanpa wali, sedangkan menurut madzhab Maliki, sah akad nikah tanpa saksi.
Pada dasarnya talfiq dibolehkan dalam agama, selama tujuan melaksanakan talfiq itu semata-mata untuk melaksanakan pendapat yang paling benar setelah meneliti dasar hukum dari pendapat itu dan mengambil yang lebih kuat dasar hukumnya. Ada talfiq yang tujuannya mencari yang mudah, ialah mengambil dari tiap mazhab yang enteng[8]. Talfiq semacam ini yang dicela para ulama.
Mengenai hukum talfiq ulama terbagi kepada dua kelompok tentang hukum talfîq. Satu kelompok mengharamkan, dan satu kelompok lagi membolehkan. Ulama Hanafiyah mengklaim ijma' kaum muslimin atas keharaman talfiq. Sedangkan di kalangan Syafi'iyah, hal itu menjadi sebuah ketetapan. Ibnu Hajar mengatakan: ”Pendapat yang membolehkan talfiq adalah menyalahi ijma'.

Dalil Kelompok yang Mengharamkan Talfiq
Mereka mendasarkan pendapatnya pada perkataan ulama ushul fiqh tentang ijma' atas ketidakbolehan menciptakan pendapat ketiga apabila para ulama terbagi kepada dua kelompok tentang hukum suatu perkara. Karena menurut mayoritas ulama, tidak boleh menciptakan pendapat ketiga yang meruntuhkan (menyalahi) sesuatu yang telah disepakati. Misalnya 'iddah wanita hamil yang suaminya meninggal dunia, terdapat dua pendapat, pertama: hingga melahirkan, kedua: yang paling jauh (lama) dari dua tempo 'iddah(‘iddah melahirkan dan ‘iddah yang ditinggal oleh suaminya karena kematian). Maka tidak boleh menciptakan pendapat ketiga, misalnya dengan beberapa bulan saja.
Akan tetapi jika ditinjau lebih dalam, terlihat bahwa alasan ini tidak bisa dibenarkan sepenuhnya, karena meng-qiyaskan talfiq atas ihdaatsu qaul tsaalits (menciptakan pendapat ketiga) adalah merupakan qiyas antara dua hal yang berbeda. Hal itu dapat dilihat dari dua sisi:
  1. Terciptanya pendapat ketiga terjadi apabila permasalahannya hanya satu, sedangkan talfiq terjadi dalam beberapa permasalahan. Misalnya, kefardhuan menyapu kepala adalah sebuah permasalahan, sementara permasalahan batalnya wudhu' karena bersentuhan dengan wanita adalah permasalahan lain. Jadi talfiq terjadi bukan dalam satu permasalahan, maka tidak terjadi pendapat ketiga.
  2. Berdasarkan pada pendapat yang paling kuat, dalam permasalahan talfiq tidak terdapat suatu sisi yang disepakati oleh para ulama. Misalnya, persoalan menyapu kepala merupakan khilaf di kalagan ulama, apakah wajib seluruhnya ataukah sebagian saja. Demikian pula batalnya wudhu' dengan menyentuh perempuan merupakan permasalahan yang menjadi khilaf, apakah ia memang membatalkan wudhu' ataukah tidak. Maka, dalam perkara talfiq, tidak ada sisi yang disepakati (ijma')
Dalil Kelompok yang Membolehkan
Para ulama yang membolehkan talfiq, mereka berdalil dengan beberapa alasan:
  1. Tidak adanya nash di dalam al-Quran atau pun as-Sunnah yang melarang talfiq ini. Setiap orang berhak untuk berijtihad dan tiap orang berhak untuk bertaqlid kepada ahli ijtihad. Dan tidak ada larangan bila kita sudah bertaqlid kepada satu pendapat dari ahli ijtihad untuk bertaqlid juga kepada ijtihad orang lain. Di kalangan para sahabat nabi saw terdapat para shahabat yang ilmunya lebih tinggi dari yang lainnya. Banyak shahabat yang lainnya kemudian menjadikan mereka sebagai rujukan dalam masalah hukum.
  2. Pada hari ini, nyaris orang-orang sudah tidak bisa bedakan lagi, mana pendapat Syafi''i dan mana pendapat Maliki, tidak ada lagi yang tahu siapa yang berpendapat apa, kecuali mereka yang secara khusus belajar di fakultas syariah jurusan perbandingan mazhab. Dan betapa sedikitnya jumlah mereka hari ini dibandingkan dengan jumlah umat Islam secara keseluruhan. Maka secara pasti dan otomatis, semua orang akan melakukan talfiq, dengan disadari atau tidak. Kalau hukum talfiq ini diharamkan, maka semua umat Islam di dunia ini berdosa. Dan ini tentu tidak logis dan terlalu mengada-ada.
  3. Nabi saw melalui Aisyah disebutkan: “Nabi tidak pernah diberi dua pilihan, kecuali beliau memilih yang paling mudah, selama hal tersebut bukan berupa dosa. Jika hal tersebut adalah dosa, maka beliau adalah orang yang paling menjauhi hal tersebut“.

3.      Ruang Lingkup
Talfiq sama seperti taqlid dalam hal ruang lingkupnya, yaitu hanya pada perkara-perkara ijtihad yang bersifat zhanniyah (perkara yang belum diketahui secara pasti dalam agama). Adapun hal-hal yang diketahui dari agama secara pasti (ma’luumun minaddiini bidhdharuurah), dan perkara-perkara yang telah menjadi ijma’, yang mana mengingkarinya adalah kufr, maka di situ tidak boleh ada taqlid, apalagi talfiq

4.      Pandangan Ulama Ushul Tentang Talfiq
Fuqaha dan ahlu ushul berbeda pendapat tentang hukum talfiq ini, yaitu boleh tidaknya seseorang berpindah mazhab baik secara keseluruhan maupun sebagian, maka kita lebih lanjut pendapat mereka:[9]
1.      Pendapat pertama, mengatakan bila seseorang telah memiliki salah satu mazhab, maka ia harus tetap pada mazhab yang dipilihnya.
2.      Pendapat kedua, mengatakan bahwa seseorang yang telah memilih salah satu mazhab boleh berpindah ke mazhab lain walaupun untuk mencari keringanan dengan ketentuan hal itu tidak terjadi dalam satu kasus hukum yang menurut mazhab pertama dan mazhab kedua sama-sama memandang batal.
3.      Pendapat ketiga, bahwa sesorang yang telah memilih salah satu mazhab tidak ada larangan agama terhadap dirinya untuk pindah ke mazhab lain, walupun di dorong untuk mencari keringanan ia dibenarkan mengambil pendapat dari tiap-tiap mazhab yang dipandangnya mudah dan gampang dengan alasan rasulullah kalau disuruh dipilih dua perkaraa beliau yng paling mudah selama itu tidak membawa dosa.


5.      Sebab-sebab Terjadinya Talfiq
 Persoalan talfiq ini tidak ditemukan didalam kitab ulama salaf bahkan tidak pernah dibicarakan secara serius dikalangan mereka. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa talfiq sebenarnya adalah masalah yang baru kita kenal didalam fiqih permasalahan dewasa ini yang sengaja dibuat oleh ulama khalaf, khususnya pada abad kelima hijriah. Ulama-ulama mutakhirin (khalaf) yang memproklamirkan bahwa pintu ijtihad telah tertutup, mengakibatkan berjangkitnya taqlid yang mulai dirasakan oleh dunia Islam, khususnya ulama-ulama Islam pada masa itu
Dari sinilah muncul pendapat bahwa seorang harus terikat dengan salah satu mazhab lain, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Pindah dari satu mazhab ke mazhab lain secara sebagian inilah yang disebut talfiq.  

C.     ITTIBA
1.      Pengertian Dan Hukum Ittiba’
Menurut bahasa Ittiba’ berasal dari bahasa arab adalah mashdar (kata bentukan) dari kata ittaba’a (اتَبَعَ) yang berarti mengikuti. Ada beberapa kalimat yang semakna dengannya diantaranya iqtifa’ (اقتفاء)(menelusuri jejak), qudwah(قدوة) (bersuri teladan) dan uswah(أسوة) (berpanutan). Dikatakan mengikuti sesuatu jika berjalan mengikuti jejaknya dan mengiringinya. Dan kata ini berkisar pada makna menyusul, mencari, mengikuti, meneladani dan mencontoh.
Sedangkan menurut istilah ittiba’ adalah mengikuti pendapat seseorang baik itu ulama atau yang lainnya dengan didasari pengetahuan dalil yang dipakai oleh ulama tersebut. Ibnu Khuwaizi Mandad mengatakan : "Setiap orang yang engkau ikuti dengan hujjah dan dalil padanya, maka engkau adalah muttabi’(orang yang mengikuti).
Menurut ulama ushul, ittiba` adalah mengikuti atau menuruti semua yang diperintahkan, yang dilarang, dan dibenarkan Rasulullah saw. Dengan kata lain ialah melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam sesuai dengan yang dikerjakan Nabi Muhammad saw[10]. Definisi lainnya, ittiba` ialah pengambilan hukum dengan mengetahui dalil dan alasan-alasannya dan ia diketahui dengan jalan yang ditunjuki oleh mujtahid[11]. Ittiba` ditetapkan berdasarkan hujjah atau nash. Ittiba` adalah lawan taqlid.

2.      Macam-macam Ittiba’
a.       Ittiba` kepada Allah dan Rasul-Nya
b.      Ittiba` kepada selain Allah dan Rasul-Nya
Ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan ada yang tidak membolehkan. Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa ittiba` itu hanya dibolehkan kepada Allah, Rasul, dan para sahabat saja, tidak boleh kepada yang lain. Pendapat yang lain membolehkan berittiba` kepada para ulama yang dapat dikatagorikan sebagai ulama waratsatul anbiyaa (ulama pewaris para Nabi

3.      Tujuan Ittiba’
Jelaslah bagi kita bahwa ittiba’ termasuk satu perbuatan yang utama. Dan hukumnya adalah wajib kalau sekiranya. Kita tidak dapat berijtihad sendiri. Dan inilah tujuan kita sebagai orang-orang muslim agar kita dapat memhami secara baik agama kita dan semua peraturan-peraturan yang ada didalamnya.[12]
Dari penjelasan diatas bisa kita simpulkan bahwa yang berhak kita berittiba’ kepadanya adalah mereka yang pendapatnya didasari dengan dalil yang jelas, dalam hal ini Rasulullah saw adalah orang yang paling berhak kita ikuti hal itu sebagaimana Allah swt berfirman,

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab: 21).

Dalam ayat lain Allah swt berfirman:
 وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7).

Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan: Ittiba’ adalah seseorang mengikuti apa yang datang dari Rasulullah saw dan para shahabatnya.
Ittiba’ kepada Nabi saw dalam perkataan akan terwujud dengan melaksanakan kandungan dan makna-makna yang ada padanya. Bukan dengan mengulang-ulang lafadz dan nashnya saja. Sebagai contoh sabda beliau saw:
 “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”.(HR. Bukhori).
Ittiba’ kepadanya adalah dengan melaksanakan shalat seperti shalat beliau.
Sedangkan ittiba’ kepada Nabi saw di dalam perkara-perkara yang ditinggalkan adalah dengan meninggalkan perkara-perkara yang beliau tinggalkan, yaitu perkara-perkara yang tidak disyariatkan. Sesuai dengan tata cara dan ketentuan Nabi saw di dalam meninggalkannya, dengan alasan karena Nabi saw meninggalkannya. Dan ini adalah batasan yang sama dengan batasan ittiba’ di dalam perbuatan.
Hukum Ittiba’
Seorang muslim wajib ittiba’ kepada Rasulullah saw dengan menempuh jalan yang beliau tempuh dan melakukan apa yang beliau lakukan. Begitu banyak ayat al-Qur’an yang memerintahkan setiap muslim agar selalu ittiba’ kepada Rasulullah saw di antaranya firman Allah swt.
Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir." (QS. Ali lmran: 32).





Dalam ayat lain Allah swt berfirman:
 
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS. al-Hujurat:1).
Demikian juga Allah SWT memerintahkan setiap muslim agar ittiba’ kepada sabilil mukminin yaitu jalan para sahabat Rasulullah saw dan mengancam dengan hukuman yang berat kepada siapa saja yang menyeleweng darinya:
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An-Nisa’: 115).

Kedudukan Ittiba’ Dalam Islam
Ittiba' kepada Rasulullah saw mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam, bahkan merupakan salah satu pintu seseorang dapat masuk Islam. Berikut ini akan disebutkan beberapa kedudukan penting yang ditempati oleh ittiba', di antaranya adalah:
Pertama, Ittiba' kepada Rasulullah saw adalah salah satu syarat diterima amal. Sebagaimana para ulama telah sepakat bahwa syarat diterimanya ibadah ada dua:
  1. Mengikhlaskan niat ibadah hanya untuk Allah SWT semata.
  2. Harus mengikuti dan serupa dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah saw.
 Ibnu 'Ajlan mengatakan: "Tidak sah suatu amalan melainkan dengan tiga perkara: taqwa kepada Allah swt, niat yang baik (ikhlas) dan ishabah (sesuai dan mengikuti sunnah Rasul)." Maka barangsiapa mengerjakan suatu amal dengan didasari ikhlas karena Allah SWT semata dan serupa dengan sunnah Rasulullah saw, niscaya amal itu akan diterima oleh Allah SWT. Akan tetapi kalau hilang salah satu dari dua syarat tersebut, maka amal itu akan tertolak dan tidak diterima oleh Allah swt. Hal inilah yang sering luput dari pengetahuan banyak orang. Mereka hanya memperhatikan satu sisi saja dan tidak memperdulikan yang lainnya. Oleh karena itu sering kita dengar mereka mengucapkan: "yang penting niatnya, kalau niatnya baik, maka amalnya baik."
Kedua, Ittiba' merupakan bukti kebenaran cinta seseorang kepada Allah swt dan Rasul-Nya. Allah swt berfirman:
 
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Ali Imran: 31).

Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan ucapannya: "Ayat yang mulia ini sebagai hakim bagi setiap orang yang mengaku cinta kepada Allah SWT, akan tetapi tidak mengikuti sunnah Muhammad saw. Karena orang yang seperti ini berarti dusta dalam pengakuan cintanya kepada Allah SWT sampai dia ittiba' kepada syari'at agama Nabi Muhammad saw dalam segala ucapan dan tindak tanduknya."
Ketiga, Ittiba' adalah sifat yang utama wali-wali Allah SWT. Ibnu Taimiyah dalam kitabnya menjelaskan panjang lebar perbedaan antara waliyullah dan wali syaitan, diantaranya beliau menjelaskan tentang wali Allah SWT dengan ucapannya: "Tidak boleh dikatakan wali Allah SWT kecuali orang yang beriman kepada Rasulullah saw dan syari'at yang dibawanya serta ittiba' kepadanya baik lahir maupun batin. Barangsiapa mengaku cinta kepada Allah SWT dan mengaku sebagai wali Allah SWT, tetapi dia tidak ittiba' kepada Rasul-Nya, berarti dia berdusta. Bahkan kalau dia menentang Rasul-Nya, dia termasuk musuh Allah SWT dan sebagai wali syaitan."
Imam Ibnu Abil 'Izzi Al-Hanafi berkata: "Pada hakikatnya yang dinamakan karamah itu adalah kemampuan untuk senantiasa istiqamah di atas al-haq, karena Allah swt tidak memuliakan hamba-Nya dengan suatu karamah yang lebih besar dari taufiq-Nya yang diberikan kepada hamba itu untuk senantiasa menyerupai apa yang dicintai dan diridhai-Nya yaitu istiqamah di dalam mentaati Allah swt dan Rasul-Nya dan ber-wala kepada wali-wali Allah swt serta bara' dari musuh-musuh-Nya." Mereka itulah wali-wali Allah swt sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
   
"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah swt itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (QS. Yunus: 62).

Demikianlah beberapa kedudukan ittiba' yang tinggi dalam syari'at Islam dan masih banyak lagi kedudukan yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa ittiba' kepada Rasulullah saw merupakan suatu amal yang teramat besar dan banyak mendapat rintangan. Mudah-mudahan Allah SWT menjadikan kita termasuk orang-orang yang ittiba' kepada Nabi-Nya dalam segala aspek kehidupan kita, sehingga kita akan bertemu Allah swt dengan membawa husnul khatimah. Amien, ya Rabbal Alamin.














BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Dari pengertian Taqlid dan Ittiba’ serta talfiq di atas maka dapat disimpulkan bahwa taqlid ini mengikuti atau mengambil pendapat seorang mujtahid tanpa mengetahui dasar dimana dalam taqlid ada hukum amaliyah yang tidak memerlukan penelitian dan ada pula taqlid yang memerlukan penelitian dan ijtihad, sedangkan mengikuti pendapat mujtahid dengan mengetahui sumber pengambilannya. memilih ajaran adalah merupakan perbuatan talfiq. Seseorang boleh bertaqlid apabila perkataan atau pendapat yang diikuti atau yang diterima itu tidak diketahui dasar atau alasannya apakah ada dalam Al-Qur’an dan hadits bahkan atau tidak sama sekali, akan tetapi taqlid ini hanya dilakukan selama belum diketahui dalil yang kuat yang dapat memecahkan persoalan tersebut.
Ittiba’ berarti menurut atau mengikuti semua yang diperintahkan, dilarang oleh Allah dan dibenarkan oleh Rasulullah SAW. Sedangkan orang yang mengikuti disebut muttabi’. Talfiq dilakukan untuk mencari-cari mana yang mudah dan mengambil dari tiap-tiap mazhab untuk mencari mana yang mudah.
Talfiq adalah menghimpun atau bertaqlid dengan dua imam madzhab atau lebih dalam satu perbuatan yang memiliki rukun, bagian-bagian yang terkait satu dengan lainnya yang memiliki hukum khusus. Ia kemudian mengikuti satu dari pendapat yang ada.
Bagi siapapun yang berkeinginan menjadi umat Rasulullah saw yang benar, taat dan patuh, hendaknya mengikuti apa yang beliau perintahkan (ittiba’) dan jangan mengikuti apa bukan dari rasulullah saw dan jangan sembarangan mengikuti apa yang bukan datang dari beliau melalui lisannya para ulama dan salafushalih karena tidak mengetahui dasar hukum (taklid). Begitupun janganlah kita termasuk umat beliau yang memilah dan memilih ajaran, yang mudah-mudah dilaksanakan yang dianggap sukar ditinggalkan. Pada dasarnya Islam datang membawa kemudahan.



DAFTAR PUSTAKA
A Hanafi,  Pengantar Dan Sejarah Hukum Islam,  Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Khairul Uman, Ahyar Aminuddin, Ushul Fiqih II, Bandung: CV Pustaka Setia, 1989.
M.T. Hasbi Ash Shiddiqy,  Pengantar Ilmu fiqih,  Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Syaikh Muhammad Al-Khudri, Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Amani, 2007.
Azharaziz 2010. Persoalan Tentang ijtihad, Ittiba, Taqlid . http://azharazizblog.blogspot.com. Diakses Tanggal 9 Oktober 2011
Deri Adlis 2010. Ushul Fiqhfiqh Ijtihad Taqlid Ittiba. http://deriaadlis.blogspot.com. Diakses Tanggal 9 Oktober 2011.
Haryono 2010.Ushul Fiqih . http://haryono10182.wordpress.com. Diakses Tanggal 9 Oktober 2011.
Yudianingsih 2011. Ijtihad. http://st289771.sitekno.com. Diakses Tanggal 9 Oktober 2011.








[1] A Hanafi,  Pengantar Dan Sejarah Hukum Islam,  (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal. 176.
[2] Khairul Uman, Ahyar Aminuddin, Ushul Fiqih II, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1989), hal. 154.
[3] Haryono 2010.Ushul Fiqih . http://haryono10182.wordpress.com. Diakses Tanggal 9 Oktober 2011
[4]  Orang awam diwajibakan untuk meminta dan mengikuti ulama. Lihat Syaikh Muhammad Al-Khudri, Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Amani, 2007, hal 845.
[5] Khairul Uman, Ahyar Aminuddin, Ushul Fiqih II, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1989), hal.156.
[6] Khairul Uman, Ahyar Aminuddin, Ushul Fiqih II, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1989), 156.
[7] Yudianingsih 2011. Ijtihad. http://st289771.sitekno.com. Diakses Tanggal 9 Oktober 2011
[8] M.T. Hasbi Ash Shiddiqy,  Pengantar Ilmu fiqih,  (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hal. 237.

[9] Khairul Uman, Ahyar Aminuddin, Ushul Fiqih II, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1989), hal. 165.

[10] Deri Adlis 2010. Ushul Fiqhfiqh Ijtihad Taqlid Ittiba. http://deriaadlis.blogspot.com. Diakses Tanggal 9 Oktober 2011
[11] Azharaziz 2010. Persoalan Tentang ijtihad, Ittiba, Taqlid . http://azharazizblog.blogspot.com. Diakses Tanggal 9 Oktober 2011
[12] Khairul Uman, Ahyar Aminuddin, Ushul Fiqih II, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1989), hal, hal 163.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar