MAFQUD (ORANG
YANG HIILANG)
Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
FIQIH MAWARIS
Dipresentasikan, 13 Oktober 2011
Oleh Kelompok IX:
Nurkholis
Sulthoni Manan
Taswirudin
Pembimbing:
Dra Syafrida,
M.Ag
FAKULTAS
TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI (UIN)
SULTAN
SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
2011
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kehadirat
Allah SWT, yang dengan rahmat dan inayah-Nya. Makalah ini disusun untuk
memenuhi mata kuliah Fiqih Mawaris yang telah diberikan oleh dosen pembimbing
tepat waktunya walaupun cukup sederhana.
Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada Ibu Dra Syafrida M.Ag selaku
dosen pembimbing mata kuliah Fiqih Mawaris. Penulis juga berterima kasih pada
teman-teman yang telah memberi pengarahan dan petunjuk dalam pembuatan makalah
ini.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan
makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran dari
dosen pembimbing maupun teman-teman sangat penulis harapkan tegur sapanya untuk perbaikan makalah
ini dan selanjutnya.
Kepada Allah SWT, kami memohon taufik
dan hidayah-Nya semoga dalam pembuatan makalah ini senantiasa dalam
keridhaannya-Nya. Amin.
Pekanbaru,
Oktober 2011
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................ i
DAFTAR ISI.............................................................................................................. ii
BAB I. PENDAHULUAN
- Latar Belakang................................................................................................ 1
- Permasalahan.................................................................................................. 2
BAB II. PEMBAHASAN
- Pengertian Orang Yang hilang (Mafqud)........................................................... 3
- Batas Waktu Menentukan Bahwa Seseorang Itu Hilang (Mafqud).................... 5
- Hak Waris Orang Dalam Perspektif Hukum Islam............................................ 7
- Upaya Untuk Memenuhi Hak Waris Bagi Orang Yang Hilang........................... 13
BAB III. PENUTUP
- Kesimpulan..................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 17
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam kajian fikih Islam, penentuan status orang hilang atau
mafqud, apakah yang bersangkutan masih hidup atau sudah wafat, kian penting
karena menyangkut banyak aspek, salah satunya adalah dalam hukum kewarisan.
Sebagai ahli waris, mafqud berhak mendapatkan bagian sesuai statusnya, apakah
ia sebagai dzawil furud atau sebagai dzawil asobah. Sedangkan sebagai pewaris,
tentu ahli warisnya memerlukan kejelasan status kewafatannya, karena status ini
merupakan salah satu syarat untuk dapat dikatakan bahwa kewarisan mafqud
bersangkutan sebagai telah terbuka.
Para ahli Faraidl memberikan batasan atau arti mafqud ialah
orang yang sudah lama pergi meninggalkan tempat tinggalnya dan tidak diketahui
kabar beritanya, tempat tinggalnya (domisilinya) dan tidak diketahui pula
tentang hidup dan matinya. Pembahasan warisan orang hilang (mafqud) ini
termasuk bagian miratsut taqdiri, artinya waris mewaris atau pusaka mempusakai
dengan cara/jalan perkiraan seperti waris khuntsa (wadam) dan waris anak dalam
kandungan.
Dalam masalah orang hilang (mafqud) ini, Ahmad Azhar Basyir,
MA menyatakan bahwa kedudukan hukum orang hilang atau (mafqud) adalah dipandang
(dianggap) hidup dalam hal-hal yang menyangkut hak-hak orang lain, sehingga
dapat diketahui dengan jelas, mati atau hidupnya atau berdasarkan keputusan
hakim tentang mati atau hidupnya. Akibat dari ketentuan tersebut adalah :
1. harta benda tidak boleh diwaris
pada saat hilangnya, sebab mungkin dalam suatu waktu dapat diketahui ia masih
hidup.
2. Tidak berhak waris terhadap harta
peninggalan kerabatnya yang meninggal dunia setelah mafqud meninggalkan tempat.
Walaupun
demikian karena kematian mafqud itu belum dapat diketahui secara pasti ia masih
harus diperhatikan dalam pembagian waris. Seperti keadaan dalam kandungan.
Bagian orang yang hilang (mafqud) disisihkan sampai dapat diketahui keadaannya
masih hidup atau telah meninggal dunia atau keputusan hakim menyatakan telah meninggal
dunia. Cara pembagian terhadap ahli waris yang ada diperhitungkan dengan
perkiraan bahwa mafqud masih hidup. Misalnya, Ahli waris terdiri dari 2 orang
anak perempuan dan 1 orang anak laki-laki mafqud, maka harta warisan dibagi 4
(empat). Satu bagian untuk masing-masing anak perempuan dan 2 (dua) bagian
disimpan untuk anak laki-laki mafqud. Dari pemaparan tersebut, kiranya sangat
penting untuk membahas lebih lanjut mengenai hak waris bagi orang hilang.
Sehingga dapat ditelaah lebih dalam mengenai hak waris tersebut.
B.
Permasalahan
Salah satu syariat yang diatur dalam ajaran Islam adalah
tentang hukum waris, yakni pemindahan harta warisan kepada ahli waris yang
berhak menerimanya. Tata cara pembagian harta warisan dalam Islam telah diatur
dengan sebaik-baiknya. Alquran menjelaskan dan merinci secara detail
hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang
pun.
Definisi orang hilang pada kenyataannya masih terdapat
perbedaan pendapat, hal ini wajar sebab dalam mendefinisikan sesuatu pasti
terdapat perbedaan antara pandangan yang satu dengan lainnya. Sehingga dalam
makalah ini perlu dipaparkan mengenai pengertian orang hilang (mafqud)
tersebut. Begitupula dalam hal waktu untuk menentukan bahwa seseorang itu
hilang. Pendapat yang satu berbeda dengan pendapat yang lain. Permasalahan yang
selanjutnya adalah mengenai hak waris bagi orang hilang tersebut dalam
perspektif Islam. Hal ini sangat penting untuk dikaji, sebab hukum Islam adalah
hukum nasional yang berlaku di negara Indonesia, dan orang hilang itu sendiri
juga punya hak dalam hal waris. Sehingga perlu adanya upaya memenuhi hak waris
bagi orang hilang tersebut.
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka penulisan makalah
ini dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai pengertian orang hilang
(mafqud), memberikan pemahaman mengenai batas waktu untuk menentukan bahwa
seseorang itu dinyatakan hilang. Selain itu, penulisan makalah ini memberikan
penjelasan mengenai hak waris orang hilang tersebut apabila dilihat dari
perspektif hukum Islam, yang selanjutnya dapat mengetahui apa saja upaya yang
dapat dilakukan untuk memenuhi hak waris bagi orang hilang tersebut.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Orang Yang Hilang (Mafqud)
Al-mafqud dalam bahasa Arab secara harfiah bermakna
'hilang'. Dikatakan faqadtu asy-syai'a idzaa adha'tuhu (saya kehilangan bila
tidak mengetahui di mana sesuatu itu berada)[1].
Kita juga bisa simak firman Allah SWT berikut:"Penyeru-penyeru itu
berkata: 'Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya
akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin
terhadapnya."
Sedangkan menurut istilah para fuqaha, al-mafqud berarti
orang yang hilang, terputus beritanya, dan tidak diketahui rimbanya, apakah dia
masih hidup atau sudah mati. Atau mafqud Adalah dia yang terputus beritanya, keadaannya
tidak diketahui, apakah dia masih hidup ataukah meninggal[2].
Dalam arti lain lagi yang di maksud orang maqfuq ialah orang yang pergi menjadi
hilang tak tentu rimbanya, tak diketahui tempat tinggalnya dan alamatnya, juga
tak diketahui apakah orang itu masih hidup atau sudah meninggal.[3]
Bahwa kata "mafqud" berasal dari kata kerja faqoda, yafqidu, dan
mashdarnya fiqdanan, fuqdanan, fuqudan, yang berarti ghoba anhu wa 'adamuhu
telah hilang atau tiada. Secara lugowiyyah, mafqud berarti hilang atau lenyap.
Sesuatu dikatakan hilang jika ia telah tiada.
Di dalam al-Quran terdapat ayat yang menyatakan qolu nahnu
nafqidu shuwa'al maliki, yang artinya mereka menjawab kami telah kehilangan
piala tempat minum raja. Sedangkan dalam pengertian hukum waris mafqud itu
ialah orang yang hilang dan telah terputus informasi tentang diriya sehingga
tidak diketahui lagi tentang keadaan yang bersangkutan, apakah dia masih hidup
atau sudah wafat. Mafqud adalah orang yang hilang dan telah terputus informasi
tentang dirinya dan tidak diketahui lagi tempat tinggalnya secara pasti
sehingga tidak dapat dipastikan apakah ia masih hidup atau sudah wafat. Dengan
demikian, mafqud berarti orang yang hilang. Orang yang hilang dari negerinya dalam
waktu yang cukup lama dan tidak diketahui lagi keberadaannya apakah ia masih
hidup atau sudah wafat. Contohnya adalah seorang pebisnis yang pergi berbisnis
ke suatu daerah yang tengah dilanda perang, para relasinya yang dihubungi tidak
mengetahui keberadaannya, karena menurut mereka, pebisnis tersebut telah pulang
ke negerinya, sedangkan keluarganya di rumah menyatakan bahwa ia telah lama
tidak pulang. Contoh lainnya adalah seorang nelayan yang berlayar untuk mencari
ikan. Teman-temannya tidak mengetahui lagi keberadaannya, karena dia menghilang
telah cukup lama. Atau seseorang yang merantau ke negara lain, baik dalam
rangka melakukan studi atau kegiatan lainnya dalam waktu yang cukup lama tidak
diketahui secara pasti keberadaannya. Dalam faraid disebutkan bahwa orang yang
hilang (mafqud) adalah orang yang tidak diketahui lagi hidup atau matinya, atau
orang yang terputus beritanya, dan tidak diketahui dimana ia kini berada. Para
fuqaha telah menetapkan beberapa hukum yang berkenaan dengan orang yang hilang,
diantaranya adalah:
1. Istrinya tidak boleh
dinikahi/dinikahkan.[4]
2. Hartanya tidak boleh diwariskan, dan
hak kepemilikannya tidak boleh diusik, sampai benar-benar diketahui keadaannya
apakah ia masih hidup atau sudah mati. Atau telah berlalu selama waktu tertentu
dan diperkirakan secara umum telah mati, dan qadhi (hakim) pun telah
menetapkannya sebagai orang yang dianggap telah mati[5].
Kadang-kadang bisa juga ditetapkan sebagai orang yang masih
hidup berdasarkan asalnya, hingga benar-benar tampak dugaan yang sebaliknya
(yakni benar-benar sudah mati). Yang demikian itu berdasarkan ucapan Ali bin
Abi Thalib r.a. tentang wanita yang suaminya hilang dan tidak diketahui
rimbanya. Ali berkata: "Dia adalah seorang istri yang tengah diuji, maka
hendaknya dia bersabar, dan tidak halal untuk dinikahi hingga ia mendapatkan
berita yang meyakinkan akan kematian suaminya."
B.
Batas
Waktu Untuk Menentukan Bahwa Seseorang Itu Hilang (Mafqud)
Penentuan wafatnya mafqud harus berdasarkan pada alat bukti
yang jelas dan dengan alat bukti itu diduga keras bahwa mafqud tersebut telah
wafat. Caranya adalah dengan memperhatikan teman-teman seumur/segenerasi dengan
mafqud bersangkutan. Apabila teman-teman seumur/segenarasi mafqud itu tidak ada
lagi yang hidup, maka hakim boleh menetapkan bahwa mafqud dimaksud telah wafat.
Bila harta mafqud telah dibagikan kepada ahli warisnya, kemudian ternyata bahwa
mafqud bersangkutan masih hidup dan kembali ke daerahnya, maka harta yang sudah
dibagikan tersebut, sekiranya masih ada yang tersisa ditangan ahli waris yang
telah menerimanya, dikembalikan oleh ahli warisnya itu kepada mafqud dimaksud.
Jika harta itu telah habis, maka mafqud tidak dapat menuntut ahli waris yang
menerima warisan tersebut untuk mengembalikannya. Muhammad Toha Abul 'Ula
Kholifah megatakan bahwa hakim memutuskan mafqud ` telah wafat dalam keadaan:
a. Yang bersangkutan hilang dalam
situasi yang patut dianggap bahwa ia sebagai telah binasa, seperti karena ada
serangan mendadak atau dalam keadaan perang.
b. Yang bersangkutan pergi untuk suatu
keperluan, tetapi tidak pernah kembali.
Dalam dua hal ini hakim dapat memutuskan bahwa yang bersangkutan telah wafat setelah berlangsung tenggat waktu 40 tahun sejak kepergiannya (mazhab Imam Ahmad).
Dalam dua hal ini hakim dapat memutuskan bahwa yang bersangkutan telah wafat setelah berlangsung tenggat waktu 40 tahun sejak kepergiannya (mazhab Imam Ahmad).
c. Yang bersangkutan hilang dalam suatu
kegiatan wisata atau urusan bisnis. Dalam kasus ini hakim memutuskan kematian
yang bersangkutan berdasarkan pertimbangan sendiri.
Mengenai masa atau periode yang dapat dijadikan dasar untuk menilai mafqud telah wafat diserahkan pada pertimbangan hakim jika ia hilang dalam waktu yang kian lama sehingga sudah tidak ada lagi orang yang satu periode dengan dia di daerahnya yang mungkin masih hidup, misalnya karena sudah mencapai batas waktu 100 atau 120 tahun. Dan ia baru dinyatakan telah wafat setelah yang bersangkutan diupayakan pencariannya melalui berbagai sarana yang memungkinkan.
Mengenai masa atau periode yang dapat dijadikan dasar untuk menilai mafqud telah wafat diserahkan pada pertimbangan hakim jika ia hilang dalam waktu yang kian lama sehingga sudah tidak ada lagi orang yang satu periode dengan dia di daerahnya yang mungkin masih hidup, misalnya karena sudah mencapai batas waktu 100 atau 120 tahun. Dan ia baru dinyatakan telah wafat setelah yang bersangkutan diupayakan pencariannya melalui berbagai sarana yang memungkinkan.
Para Ulama berbeda pendapat mengenai batasan waktu bagi
mafqud sehingga dia dianggap telah wafat. Ada pendapat yang mengatakan bahwa
batasan waktu itu tidak perlu ditentukan dan sepenuhnya diserahkan pada
pertimbangan hakim. Ulama Malikiyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa perlu ada
batasan waktu yang dapat dijadikan patokan bagi penentuan wafatnya mafqud.
Pendapat yang populer di kalangan ulama Malikiyah bahwa batasan waktu itu
adalah 70 tahun, sedangkan di kalangan ulama Hanabilah batasan waktu itu adalah
90 tahun. Ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa batasan waktu itu
tidak diperlukan. Yang jadi patokan bagi penentuan wafatnya mafqud menurut
pendapat Ulama Hanafiyyah adalah dengan berpedoman pada kematian teman-temannya
sebayanya di daerahnya. Maksudnya adalah dengan sudah tidak ada lagi
rekan-rekan seusia mafqud yang masih hidup di daerah itu, berarti mafqud bersangkutan
juga dianggap telah wafat. Dan ulama Syafi’iayh berpendapat penentuan batas
waktu itu sepenuhnya menjadi domain ijtihad bagi hakim, dengan mengacu pada
batas waktu atau kebiasaan di mana orang tidak mungkin lagi bisa hidup di atas
batas usia tersebut.
Penentuan seseorang sebagai telah mafqud adalah berdasarkan
pada tanggal atau waktu ditemuinya bukti kuat tentang kematian mafqud
bersangkutan atau pada saat hakim memutuskan wafatnya mafqud. Jika penentuan
itu berdasarkan pada ijtihad[6]
atau persangkaan, di sini ada dua pendapat. Pertama, Abu Hanifah dan Malik
berpendapat bahwa waktu wafatnya mafqud dianggap sejak tanggal hilangnya mafqud
bersangkutan. Sejak tanggal itulah dia dianggap telah mafqud. Konsekwensinya
adalah bahwa ahli waris mafqud yang wafat sebelum tanggal tersebut tidak berhak
mendapat warisan dari mafqud dimaksud karena warisan itu hanya berlaku bagi
ahli waris yang masih hidup pada tanggal mafqud mulai hilang. Berbeda halnya
dengan Syafi’i dan Ahmad yang berpendapat bahwa mafqud dianggap telah wafat
sejak tanggal pernyataan kewafatannya, sehingga dengan demikian mafqud berhak
mendapat warisan dari pewarisnya yang wafat sebelum tanggal kematian mafqud,
dan ahli waris mafqud berhak mendapat warisan dari mafqud bersangkutan jika
ahli warisnya masih hidup pada saat mafqud dinyatakan wafat
Tentang periode yang dapat diputuskan oleh hakim bahwa mafqud itu telah wafat, as-Shabuny mengatakan:
Tentang periode yang dapat diputuskan oleh hakim bahwa mafqud itu telah wafat, as-Shabuny mengatakan:
a. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa
mafqud itu dianggap telah wafat jika orang-orang yang seusia dengan dia di
daerahnya telah semua wafat, sehingga tidak ada lagi yang masih hidup, dan ini
waktunya sekitar 90 tahun.
b. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa
tenggat waktu itu adalah 70 tahun, dengan landasan hadits Rasul yang menyatakan
bahwa usia umatku berkisar antara 60 sampai dengan 70 tahun.
c. Ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa
tenggat waktu itu adalah 90 tahun, yaitu batas usia orang-orang yang seperiode
dengan dia di daerahnya. Tetapi, pendapat yang sahih di kalangan ini adalah
penentuannya bukan berdasarkan pada bilangan waktu tertentu, melainkan
berdasarkan pada bukti, yakni jika telah ada bukti bagi hakim tentang kematian
mafqud bersangkutan, maka berdasarkan bukti itu hakim menetapkan kematian
mafqud bersangkutan dan itu setelah berlangsung suatu periode di mana secara
kebiasan bahwa seseorang sudah tidak mungkin lagi hidup di atas usia tersebut.
d. Ulama Hanabilah berpendapat bahwa
jika mafqud itu hilang dalam suasana yang memang memungkinkan yang bersangkutan
itu telah binasa, seperti pergumulan peperangan yang begitu dahsyat di mana
kedua belah pihak saling berhadap-hadapan dalam penyerangan, atau tenggelamnya
alat angkutan yang ditumpanginya, di mana sebagian penumpang selamat dan
sebagian lagi tidak selamat, maka di sini ditunggu sampai tenggat waktu empat
tahun. Tetapi jika ia hilang dalam suasana yang tidak mungkin ia binasa, seperti
pergi untuk berdagang, perjalanan wisata, atau menuntut ilmu, maka dalam hal
ini ada dua pendapat:
1. Ditunggu sampai yang bersangkutan
berusia 90 tahun karena biasanya di atas usia ini sudah tipis kemungkinan bagi
seseorang untuk bertahan hidup.
2. Diserahkan pada pertimbangan hakim
dalam sidang pengadilannnya secara legal berakibat salah satu dari dua
keputusan masing-masing mempunyai konsekwensi dalam system kewarisa[7].
C.
Hak
Waris Orang Hilang Dalam Perspektif Hukum Islam
Kewarisan merupakan himpunan peraturan-peraturan hukum yang
mengatur cara pengurusan hak-hak dan kewajiban seseorang yang telah meninggal
dunia oleh ahli waris atau badan hukum lainnya[8].
Mengenai orang hilang (mafqud) yang terputus beritanya sehingga tidak diketahui
hidup-matinya, membuat masyarakat mencari keadilan ke Pengadilan Agama untuk
mendapatkan ketetapan bahwa si mafqud meninggal dunia secara hukum. Perkara
tersebut menarik untuk dikaji karena permasalahan hak waris mafqud menjadi
kendala dalam proses pembagian harta warisan, yang mana status si mafqud
tersebut tidak bisa diidentifikasi dengan jelas apakah masih hidup atau sudah
meninggal dunia. Persoalan ini menjadi rumit karena, peraturannya secara rinci
tidak terkodifikasi dalam peraturan yang berlaku baik, dalam al-Quran, hadis
maupun dalam undang-undang yang berlaku. Dapatkah hak waris mafqud tersebut
diperoleh sehingga perlu dilakukan pembahasan tentang hak waris mafqud. Hak
waris adalah hak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh orang-orang yang
meninggal dunia. Pemilik hak waris sering disebut sebaggai ahli waris. Dalam
hukum kewarisan ada unsur-unsur yang memungkinkan peralihan harta peninggalan
seseorang berlangsung sebagaimana mestinya. Unsur tersebut adalah pewaris,
harta warisan dan ahli waris. Adapun yang menyebabkan seseorang menjadi ahli
waris adalah karena hubungan darah dan hubungan kekerabatan atau hubungan
nasab, dan hubungan perkawinan.
Ada tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak
waris:
1. Kerabat hakiki (yang ada ikatan
nasab), seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan seterusnya.
2. Pernikahan, yaitu terjadinya akad
nikah secara legal (syar'i) antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun
belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersanggama) antar keduanya. Adapun
pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan
hak waris.
3. Al-Wala, yaitu kekerabatan karena
sebab hukum. Disebut juga wala al-'itqi dan wala an-ni'mah. Yang menjadi
penyebab adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Maka
dalam hal ini orang yang membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan
(ikatan) yang dinamakan wala al-'itqi. Orang yang membebaskan budak berarti
telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Karena
itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang
dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang hakiki, baik adanya
kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan.
Deretan
hak yang harus ditunaikan yang ada kaitannya dengan harta peninggalan adalah:
1. Al-Wala, yaitu kekerabatan karena
sebab hukum. Disebut juga wala al-'itqi dan wala an-ni'mah. Yang menjadi
penyebab adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Maka
dalam hal ini orang yang membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan
(ikatan) yang dinamakan wala al-'itqi. Orang yang membebaskan budak berarti
telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Karena
itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang
dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang hakiki, baik adanya
kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan.
2. Satu hal yang perlu untuk diketahui
dalam hal ini ialah bahwa segala keperluan tersebut akan berbeda-beda
tergantung perbedaan keadaan mayit, baik dari segi kemampuannya maupun dari
jenis kelaminnya
3. Hendaklah utang piutang yang masih
ditanggung pewaris ditunaikan terlebih dahulu. Artinya, seluruh harta
peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada ahli warisnya sebelum
utang piutangnya ditunaikan terlebih dahulu
4. Wajib menunaikan seluruh wasiat
pewaris selama tidak melebihi jumlah sepertiga dari seluruh harta
peninggalannya. Hal ini jika memang wasiat tersebut diperuntukkan bagi orang
yang bukan ahli waris, serta tidak ada protes dari salah satu atau bahkan
seluruh ahli warisnya. Adapun penunaian wasiat pewaris dilakukan setelah
sebagian harta tersebut diambil untuk membiayai keperluan pemakamannya,
termasuk diambil untuk membayar utangnya.
5. Bila ternyata wasiat pewaris
melebihi sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkannya, maka wasiatnya tidak
wajib ditunaikan kecuali dengan kesepakatan semua ahli warisnya[9].
Hal ini berlandaskan sabda Rasulullah saw. ketika menjawab pertanyaan Sa'ad bin
Abi Waqash r.a. pada waktu itu Sa'ad sakit dan berniat menyerahkan seluruh
harta yang dimilikinya ke baitulmal. Rasulullah saw. bersabda: "...
Sepertiga, dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya bila engkau meninggalkan para
ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam
kemiskinan hingga meminta-minta kepada orang.
6. Setelah itu barulah seluruh harta
peninggalan pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya sesuai ketetapan
Al-Qur'an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama (ijma'). Dalam hal ini dimulai
dengan memberikan warisan kepada ashhabul furudh (ahli waris yang telah
ditentukan jumlah bagiannya, misalnya ibu, ayah, istri, suami, dan lainnya),
kemudian kepada para 'ashabah (kerabat mayit yang berhak menerima sisa harta
waris jika ada setelah ashhabul furudh menerima bagian).
Dalam faraid dinyatakan, apabila seseorang wafat dan
mempunyai ahli waris, dan diantara ahli warisnya ada yang hilang dan tidak
dikenal lagi rimbanya, maka cara pemberian hak warisnya ada dua keadaan:
a. Ahli waris yang hilang tersebut
sebagai penghalang bagi ahli waris lainnya[10].
Yakni termasuk ashabah tanpa ada satupun ashhabul furudh yang berhak untuk
mendapat bagian.
b. Ahli waris yang hilang tersebut
bukan sebagai penghalang bagi ahli waris lainnya, bahkan ia sama berhak untuk
mendapatkan warisan sesuai dengan bagian atau fardh-nya[11]
(yakni termasuk ashhabul furudh).
Pada keadaan pertama: seluruh harta warisan peninggalan
pewaris dibekukan, yakni tidak diberikan kepada ahli waris, untuk sementara
hingga ahli waris yang hilang tersebut muncul atau diketahui hidup dan
tempatnya. Bila ahli waris yang hilang ternyata masih hidup, maka dialah yang
berhak untuk menerima atau mengambil seluruh harta warisnya. Namun, bila
ternyata hakim telah menetapkannya sebagai orang yang telah mati, maka harta
waris tadi dibagikan kepada seluruh ahli waris yang ada dan masing-masing
mendapatkan sesuai dengan bagian atau fardh-nya. Sedangkan pada keadaan kedua,
ahli waris yang ada berhak untuk menerima bagian yang paling sedikit di antara
dua keadaan (yakni keadaan hidup dan matinya) orang yang hilang.
Bila ahli waris yang ada, siapa saja di antara mereka yang
dalam dua keadaan orang yang hilang tadi sama bagian hak warisnya, hendaknya ia
diberi hak waris secara sempurna. Namun, bagi ahli waris yang berbeda bagian
hak warisnya di antara dua keadaan ahli waris yang hilang tadi, maka mereka
diberi lebih sedikit di antara kedua keadaan tadi. Namun, bagi siapa saja yang
tidak berhak untuk mendapatkan waris dalam dua keadaan orang yang hilang,
dengan sendirinya tidak berhak untuk mendapatkan harta waris sedikit pun.
Muhammad Abul ’Ula Kholifah mengatakan bahwa ada suatu
prinsip dalam pembagian warisan mafqud, yaitu jika dikaitan dengan harta
pribadinya, dia dianggap sebagai hidup sampai diketahui atau dinyatakan
kematiannya. Jika dikaitkan dengan harta orang lain, dia dianggap wafat,
sehingga dengan demikian dia tidak termasuk ahli waris, sampai ada kejelasan
statusnya, sudah wafatkah dia atau masih hidup. Atas dasar prinsip tersebut,
maka teknis pembagian waris mafqud harus ditempuh melalui dua cara, yaitu:
1. Mafqud dianggap masih hidup,
sehingga bagiannya sementara ditunda sampai ada kejelasan statusnya.
2. mafqud dianggap sudah wafat,
sehingga dengan demikian dia bukan sebagai ahli waris.
Karena demikian adanya, maka perlu diperhatikan keberadaan ahli waris lainnya, yaitu:
Karena demikian adanya, maka perlu diperhatikan keberadaan ahli waris lainnya, yaitu:
a. Terhadap ahli waris yang bagiannya
tetap sama dalam dua keadaan tersebut, yakni baik mafqud bersangkutan masih
hidup ataupun sudah wafat, maka kepadanya diberikan bagian secara penuh.
b. Terhadap ahli waris yang bagiannya berubah
dalam salah satu dari dua keadaan dimaksud, maka kepadanya diberikan bagian
yang lebih kecil, sedangkan sisanya sementara ditunda sampai ada kejelasan
status mafqud. Jika mafqud bersangkutan ternyata benar-benar masih hidup, maka
ia mengambil bagian yang sementara ditunda itu. Sebaliknya, jika ternyata
mafqud tersebut benar-benar telah wafat, maka bagian yang sementara ditunda itu
diberikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya.
c. Terhadap ahli waris yang belum jelas
status kewarisannya, artinya ia berhak mewaris dalam satu cara, tetapi tidak
berhak mewaris dalam cara yang lain, maka di sini wajib ditunda bagiannya
sampai jelas status mafqud.
Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh Wahbah az-Zuhaily
yang menyatakan bahwa teknis pembagian kewarisan mafqud itu adalah sebagai
berikut:
a. Jika dia sebagai ahli waris
tunggal,tidak ada ahli waris lain selain dirinya sendiri, maka kewarisan itu
ditunda pembagiannya.
b. Jika bersama mafqud itu ada ahli
waris lain, maka teknis pembagiannya dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1. cara pertama, mafqud dianggap
sebagai masih hidup.
2. cara kedua, mafqud dianggap sebagai
sudah wafat.
Kemudian kedua asal masalah dari pembagian tersebut
disatukan dalam satu pembagian.
Hasilnya, diberikan
kepada para ahli waris yang berhak menerimanya, dengan ketentuan:
1. Kepada ahli waris yang memperoleh
bagian samabesar dalam dua keadaan tersebut, diberikan bagiannya secara penuh.
2. Kepada ahli waris yang memperoleh
bagian berbeda dalam dua keadaan tersebut, diberikan bagian yang lebih kecil,
dan sisanya sementara ditunda sampai ada kejelasan status mafqud. Jika mafqud
itu ternyata masih hidup, maka sisa bagian yang sementara ditunda itu menjadi
haknya.
Menurut as-Shobuny, kewarisan mafqud itu ada dua
kemungkinan. Pertama, bersama mafqud ada ahli waris lain yang terhijib hirman
oleh mafqud bersangkutan. Dalam hal ini, maka pembagian warisan belum bisa
dilaksanakan karena mesti ditunda. Sebagai contoh adalah X wafat dengan
meninggalkan ahli waris yang terdiri dari seorang saudara kandung laki-laki, seorang
saudara kandung perempuan, dan seorang anak laki-laki mafqud. Di sini, karena
anak laki-laki dari X itu menghijab saudara, maka pembagian warisan X terhadap
ahli waris dimaksud belum dapat dilaksanakan sampai ada kejelasan status
mafqud, apakah dia masih hidup atau sudah wafat.
Jika mafqud masih hidup, maka ia sebagai ahli waris tunggal
dari X dan oleh karena itu, maka warisan X sepenuhnya jatuh kepada mafqud
bersangkutan. Tetapi jika mafqud itu ternyata sudah wafat, maka saudara kandung
laki-laki dan perempuan dari X itulah sebagai ahli warisnya, dan mereka berhak
atas harta peninggalan X. Kedua, bersama mafqud ada ahli waris lain yang
sama-sama berhak mewaris. Dalam hal ini, maka pembagian warisan mafqud dapat
dilaksanakan dengan memperhitungkan kemungkinan masih hidup dan sudah wafatnya
mafqud bersangkutan, dengan catatan bahwa:
1. Kepada ahli waris yang perolehan
bagiannya sama, tidak berkurang dalam dua keadaan, baik mafqud itu masih
dianggap hidup ataupun sudah wafat, diberikan bagiannya secara lengkap.
2. Terhadap ahli waris yang perolehan
bagiannnya berbeda antara dua keadaan, yakni dalam hal mafqud dianggap masih
hidup dan sudah wafat, diberikan bagian yang terkecil dari dua perolehan
dimaksud.
3. Terhadap ahli waris yang tidak
mendapat perolehan bagian, baik dalam hal mafqud dianggap masih hidup ataupun
sudah wafat, tidak mendapatkan perolehan.
D.
Upaya
Untuk Memenuhi Hak Waris Bagi Orang Yang Hilang
Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw merupakan sebuah
aturan yang lengkap dan sempurna, yang mengatur segala aspek kehidupan untuk
keselamatan dunia dan akhirat.
Salah satu syariat yang diatur dalam ajaran Islam adalah tentang hukum waris, yakni pemindahan harta warisan kepada ahli waris yang berhak menerimanya. Kalau seseorang hilang, tidak ketahuan kemana perginya, padahal ia ada meninggalkan harta atau didalam masa hilangnya ada seorang keluarganya mati dan ia dapat warisan.
Salah satu syariat yang diatur dalam ajaran Islam adalah tentang hukum waris, yakni pemindahan harta warisan kepada ahli waris yang berhak menerimanya. Kalau seseorang hilang, tidak ketahuan kemana perginya, padahal ia ada meninggalkan harta atau didalam masa hilangnya ada seorang keluarganya mati dan ia dapat warisan.
Ada ulama berkata, bahwa hartanya sendiri, dan harta yang ia
dapat warisan itu tidak boleh diapa-apakan hingga lewat 90 tahun, barulah boleh
dibagikan kepada warisnya. Ada yang menwajibkan menunggu hingga masa yang
orang-orang sebaya dengannya meninggal. Ada yang berpendapat bahwa hartanya itu
diserahkan kepada baitul mal buat dijaga dan ditarik hasilnya, dikeluarkan
belanja-belanja yang perlu dan pantas seperti gaji pengurus, zakat, belanja
orang-orang yang ada dalam tanggungannya dan sebagainya sambil dijalankan
ikhtiar buat mencari tahu halnya dengan apa-apa daya upaya yang pantas.
Sesudah dirasa ikhtiar puas, maka boleh Qodhi, Imam atau
membagikan 2/3 dari hartanya kepada waris-warisnya dan 1/3 lagi tetap disimpan
dalam baitul mal hingga kira-kira orang itu sampai umur pada ghalibnya mesti
mati, barulah 1/3 itu lagi dibagikan kepada ahli warisnya yang masih ada pada
waktu itu; dan kalau ahli warisnya tidak ada sama sekali maka dibagikan kepada
ulul arhaamnya ( keluarganya ). Alasan yang dapat dipergunakan untuk menetapkan
mafqudnya seseorang :
1. Tidak ada kabar beritanya dan
keluarga tidak tahu dimana keberadaannya, sudah diusahakan mencari tahu dimana
orang mafqud berada.
2. Menurut aturan Islam, keberadaan
kabar berita orang mafqud ditunggu 4-5 tahun.
3. Jika lewat dari waktu tersebut, maka
bisa mengajukan ke Pengadilan Agama untuk menetapkan orang mafqud tersebut mati
secara hukmy (hukum).
4. Keluarga sudah berusaha untuk
mencari informasi keberadaannya serta bisa mengumumkannya melalui media
elektronik/cetak/pihak berwajib.
Dasar pertimbangan hakim untuk mengabulkan permohonan
penetapan bagi yang mafqud adalah[12]
:
a. Bukti-bukti berupa keterangan dari
keluarga, media cetak, elektronik, dan pihak berwajib bahwa orang mafqud sudah
diusahakan mencari keberadaannya.
b. Tenggang waktu menunggu sudah sangat
lama.
c. Ada perbuatan hukum yang harus
segera keluarga selesaikan, dan perbuatan hukum tersebut menyangkut hak dan
kewajiban orang mafqud serta keluarganya.
Oleh karena permohonan agar seseorang dinyatakan sebagai
dalam keadaan mafqud secara jelas menjadi yurisdiksi voluntair pengadilan
agama, maka praktek caranya berlaku sepenuhnya ketentuan mengenai perkara
volunter, antara lain:
1. Permohonan diajukan dengan surat
permohonan yang ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya yang sah dan diajukan
kepada Ketua Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal pemohon.
2. Pemohon yang tidak dapat menulis
dapat mengajukan permohonannya secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan Agama
yang akan menyuruh mencatat permohonan tersebut.
3. Landasan hukum dan psristiwa yang
menjadi dasar permohonan, cukup memuat dan menjelaskan hubungan hukum
(rechtsver houding) antara diri pemohon dengan permasalahan hukum yang
dipersoalkan. Sehubungan dengan hal itu, fondamentum petendi atau posita
permohonan pada prinsipnya didasarkan pada ketentuan pasal undang-undang yang
menjadi alasan permohonan dengan menghubungkan ketentuan itu dengan peristiwa
yang dihadapi pemohon.
4. Petitum permohonan tidak boleh
melanggar atau melampaui hak orang lain. Ia harus benar-benar murni merupakan
permintaan penyelesaian kepentingan pemohon, dengan acuan:
a. isi petitum merupakan permintaan
yang bersifat deklaratif.
b. petitum tidak boleh melibatlkan
pihak lain yang tidak ikut sebagai pemohon.
c. tidak boleh memuat petitum yang
bersifat condemnatoir (mengandung hukum).
d. petitum harus dirinci satu persatu
tentang hal-hal yang dikehendaki pemohon untuk ditetapkan pengadilan agama
kepadanya.
e. petitum tidak boleh bersifat
compositur atau ex aequo et bono.
Dari berbagai pandangan mengenai hak waris bagi mafqud yang
sudah dipaparkan sebelumnya, maka untuk memenuhi hak waris bagi mafqud perlu
ketegasan dari pemerintah. Mafqud yang belum dapat diketahui keberadaannya,
apakah dia masih hidup atau sudah meninggal tetap harus dipenuhi haknya.[13]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Mafqud adalah orang yang hilang dan telah terputus informasi
tentang dirinya dan tidak diketahui lagi tempat tinggalnya secara pasti
sehingga tidak dapat dipastikan apakah ia masih hidup atau sudah wafat. Orang
yang hilang dari negerinya dalam waktu yang cukup lama dan tidak diketahui lagi
keberadaannya apakah ia masih hidup atau sudah`wafat. Tentang periode yang
dapat diputuskan oleh hakim bahwa mafqud itu telah wafat, as-Shabuny
mengatakan:
1. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa
mafqud itu dianggap telah wafat jika orang-orang yang seusia dengan dia di
daerahnya telah semua wafat, sehingga tidak ada lagi yang masih hidup, dan ini
waktunya sekitar 90 tahun.
2. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa
tenggat waktu itu adalah 70 tahun, dengan landasan hadits Rasul yang menyatakan
bahwa usia umatku berkisar antara 60 sampai dengan 70 tahun.
3. Ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa
tenggat waktu itu adalah 90 tahun, yaitu batas usia orang-orang yang seperiode
dengan dia di daerahnya.
4. Ulama Hanabilah dalam hal ini ada
dua pendapat: Ditunggu sampai yang bersangkutan berusia 90 tahun karena
biasanya di atas usia ini sudah tipis kemungkinannya bagi seseorang untuk dapat
bertahan hidup; diserahkan pada petimbangan hakim.
Cara pemberian hak warisnya ada dua keadaan: ahli waris yang
hilang tersebut sebagai penghalang bagi ahli waris lainnya (yakni termasuk
ashabah tanpa ada satupun ashhabul furudh yang berhak untuk mendapat bagian),
ahli waris yang hilang tersebut bukan sebagai penghalang bagi ahli waris
lainnya, bahkan ia sama berhak untuk mendapatkan warisan sesuai dengan bagian
atau fardh-nya (yakni termasuk ashhabul furudh). Untuk memenuhi hak waris bagi
mafqud perlu ketegasan dari pemerintah. Mafqud yang belum dapat diketahui
keberadaannya, apakah dia masih hidup atau sudah meninggal tetap harus dipenuhi
haknya.Sampai saat ini ketentuan materiil mengenai kemafqudan bagi peradilan agama
belum ada aturannya dalam bentuk hukum positif, tetapi telah kian enumeratif
dibahas oleh para ulama dalam berbagai kitab fikih sehingga oleh karena itu
hasil ijtihad para ulama fikih tersebut dapat dijadikan rujukan dalam
menyelesaikan perkara dimaksud.
DAFTAR
PUSTAKA
A.
Sukris Samadi, Transendensi Keadilan
Hukum Waris Islam Transformatif. Jakarta: PT Grafindo Persada. 1997.
Muhammad
Jawad Mughniyah, Perbandingan Hukum Waris
Syiah dan sunnah. Surabaya: Al-Iklash, 1988.
Zakiah
Daradjat, Usman Said, Husni Rahiem, Murni Jamal, Suaibu Thalib. Ilmu Fiqih. Jakarta Departemen Agama,
1986.
Amir
Hamka 2011. Bagian Harta Waris Bagi Ahli Waris Yang Dianggap Hilang (Mafqud). http://mandiri84.wordpress.com.
Diakses Tanggal 7 Oktober 2011
Arman. 2008. Tanya Jawab Masalah
Waris. http://arsiparmansyah.wordpress.com.
Di Akses 7 Oktober 2011
Muhammad Ali Ash-Shabuni. Waris
Orang Hilang (Mafqud). http://media.isnet.org.
Diakses 7 Oktober 2011
Opi.2010.Hak Waris Orang Yang Hilang
dan Tertawan. http:// www. faraidweb.com. Diakses tanggal 7 Oktober 2011
Syaikh Muhammad
bin Ibrahim At-Tuwaijri, Ringkasan Fiqih Islam, Indonesia: Terj
Islamhouse.com.2009
Yazhayuadevi
2010. Hak Waris Bagi Orang Yang Hilang. http://yazhayuadevi.blogspot.com.
Diakses Tanggal 7 Oktober 2011
[1] Yazhayuadevi
2010. Hak Waris Bagi Orang Yang Hilang. http://yazhayuadevi.blogspot.com.
Diakses Tanggal 7 Oktober 2011
[2] Syaikh Muhammad
bin Ibrahim At-Tuwaijri, Ringkasan Fiqih Islam, Indonesia: Terj Islamhouse.com.2009.hal.
27.
[3] Zakiah
Daradjat, Usman Said, Husni Rahiem, Murni Jamal, Suaibu Thalib. Ilmu Fiqih. (Jakarta Departemen Agama,
1986). Hal.166.
[4] Opi.2010.Hak Waris Orang Yang Hilang dan Tertawan. http://
www. faraidweb.com. Diakses tanggal 7 Oktober 2011.
[5] Opi.2010.Hak Waris Orang Yang Hilang dan Tertawan. http://
www. faraidweb.com. Diakses tanggal 7 Oktober 2011.
[6] Ulama ahli hkum Islam bersepakat bahwa wajib
menanti didalam membagi hartanya sampai melampaui batas masa yang tidak mungki ia hidup
misalnya, Dan hal itu diserahkan saja
kepada pandangan Dan ijtihad hakim Lihat Muhammad Jawad Mughniyah, Perbandingan Hukum Waris Syiah dan sunnah. (Surabaya:
Al-Iklash, 1988). hal. 108.
[7] A. Sukris Samadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam
Transformatif. (Jakarta: PT Grafindo Persada. 1997). Hal. 235.
[8] Yazhayuadevi
2010. Hak Waris Bagi Orang Yang Hilang. http://yazhayuadevi.blogspot.com.
Diakses Tanggal 7 Oktober 2011
[9] Yazhayuadevi
2010. Hak Waris Bagi Orang Yang Hilang. http://yazhayuadevi.blogspot.com. Diakses
Tanggal 7 Oktober 2011.
[10] Arman. 2008. Tanya Jawab Masalah Waris. http://arsiparmansyah.wordpress.com.
Di Akses 7 Oktober 2011.
[11] Arman. 2008. Tanya Jawab Masalah Waris. http://arsiparmansyah.wordpress.com.
Di Akses 7 Oktober 2011.
[12] Yazhayuadevi
2010. Hak Waris Bagi Orang Yang Hilang. http://yazhayuadevi.blogspot.com.
Diakses Tanggal 7 Oktober 2011.
[13] Yazhayuadevi
2010. Hak Waris Bagi Orang Yang Hilang. http://yazhayuadevi.blogspot.com.
Diakses Tanggal 7 Oktober 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar