Rabu, 04 Januari 2012

Makalah fiqih mawaris orang yang hilang


MAFQUD (ORANG YANG HIILANG)


uin.JPG

Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
FIQIH MAWARIS
Dipresentasikan, 13 Oktober 2011




Oleh Kelompok IX:
Nurkholis
Sulthoni Manan
Taswirudin




Pembimbing:
Dra Syafrida, M.Ag



FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
2011

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT, yang dengan rahmat dan inayah-Nya. Makalah ini disusun untuk memenuhi mata kuliah Fiqih Mawaris yang telah diberikan oleh dosen pembimbing tepat waktunya walaupun cukup sederhana.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu  Dra Syafrida M.Ag selaku dosen pembimbing mata kuliah Fiqih Mawaris. Penulis juga berterima kasih pada teman-teman yang telah memberi pengarahan dan petunjuk dalam pembuatan makalah ini. 
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran dari dosen pembimbing maupun teman-teman sangat penulis  harapkan tegur sapanya untuk perbaikan makalah ini dan selanjutnya.
Kepada Allah SWT, kami memohon taufik dan hidayah-Nya semoga dalam pembuatan makalah ini senantiasa dalam keridhaannya-Nya. Amin.

                                                                      Pekanbaru, Oktober 2011


                                                                                     Penulis





DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................ i
DAFTAR ISI.............................................................................................................. ii
BAB I. PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang................................................................................................ 1
  2. Permasalahan.................................................................................................. 2
BAB II. PEMBAHASAN
  1. Pengertian Orang Yang hilang (Mafqud)........................................................... 3
  2. Batas Waktu Menentukan Bahwa Seseorang Itu Hilang (Mafqud).................... 5
  3. Hak Waris Orang Dalam Perspektif Hukum Islam............................................ 7
  4. Upaya Untuk Memenuhi Hak Waris Bagi Orang Yang Hilang........................... 13

BAB III. PENUTUP
  1. Kesimpulan..................................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 17








BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Dalam kajian fikih Islam, penentuan status orang hilang atau mafqud, apakah yang bersangkutan masih hidup atau sudah wafat, kian penting karena menyangkut banyak aspek, salah satunya adalah dalam hukum kewarisan. Sebagai ahli waris, mafqud berhak mendapatkan bagian sesuai statusnya, apakah ia sebagai dzawil furud atau sebagai dzawil asobah. Sedangkan sebagai pewaris, tentu ahli warisnya memerlukan kejelasan status kewafatannya, karena status ini merupakan salah satu syarat untuk dapat dikatakan bahwa kewarisan mafqud bersangkutan sebagai telah terbuka.
Para ahli Faraidl memberikan batasan atau arti mafqud ialah orang yang sudah lama pergi meninggalkan tempat tinggalnya dan tidak diketahui kabar beritanya, tempat tinggalnya (domisilinya) dan tidak diketahui pula tentang hidup dan matinya. Pembahasan warisan orang hilang (mafqud) ini termasuk bagian miratsut taqdiri, artinya waris mewaris atau pusaka mempusakai dengan cara/jalan perkiraan seperti waris khuntsa (wadam) dan waris anak dalam kandungan.
Dalam masalah orang hilang (mafqud) ini, Ahmad Azhar Basyir, MA menyatakan bahwa kedudukan hukum orang hilang atau (mafqud) adalah dipandang (dianggap) hidup dalam hal-hal yang menyangkut hak-hak orang lain, sehingga dapat diketahui dengan jelas, mati atau hidupnya atau berdasarkan keputusan hakim tentang mati atau hidupnya. Akibat dari ketentuan tersebut adalah :
1. harta benda tidak boleh diwaris pada saat hilangnya, sebab mungkin dalam suatu waktu dapat diketahui ia masih hidup.
2. Tidak berhak waris terhadap harta peninggalan kerabatnya yang meninggal dunia setelah mafqud meninggalkan tempat.
Walaupun demikian karena kematian mafqud itu belum dapat diketahui secara pasti ia masih harus diperhatikan dalam pembagian waris. Seperti keadaan dalam kandungan. Bagian orang yang hilang (mafqud) disisihkan sampai dapat diketahui keadaannya masih hidup atau telah meninggal dunia atau keputusan hakim menyatakan telah meninggal dunia. Cara pembagian terhadap ahli waris yang ada diperhitungkan dengan perkiraan bahwa mafqud masih hidup. Misalnya, Ahli waris terdiri dari 2 orang anak perempuan dan 1 orang anak laki-laki mafqud, maka harta warisan dibagi 4 (empat). Satu bagian untuk masing-masing anak perempuan dan 2 (dua) bagian disimpan untuk anak laki-laki mafqud. Dari pemaparan tersebut, kiranya sangat penting untuk membahas lebih lanjut mengenai hak waris bagi orang hilang. Sehingga dapat ditelaah lebih dalam mengenai hak waris tersebut.
B.     Permasalahan
Salah satu syariat yang diatur dalam ajaran Islam adalah tentang hukum waris, yakni pemindahan harta warisan kepada ahli waris yang berhak menerimanya. Tata cara pembagian harta warisan dalam Islam telah diatur dengan sebaik-baiknya. Alquran menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun.
Definisi orang hilang pada kenyataannya masih terdapat perbedaan pendapat, hal ini wajar sebab dalam mendefinisikan sesuatu pasti terdapat perbedaan antara pandangan yang satu dengan lainnya. Sehingga dalam makalah ini perlu dipaparkan mengenai pengertian orang hilang (mafqud) tersebut. Begitupula dalam hal waktu untuk menentukan bahwa seseorang itu hilang. Pendapat yang satu berbeda dengan pendapat yang lain. Permasalahan yang selanjutnya adalah mengenai hak waris bagi orang hilang tersebut dalam perspektif Islam. Hal ini sangat penting untuk dikaji, sebab hukum Islam adalah hukum nasional yang berlaku di negara Indonesia, dan orang hilang itu sendiri juga punya hak dalam hal waris. Sehingga perlu adanya upaya memenuhi hak waris bagi orang hilang tersebut.
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka penulisan makalah ini dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai pengertian orang hilang (mafqud), memberikan pemahaman mengenai batas waktu untuk menentukan bahwa seseorang itu dinyatakan hilang. Selain itu, penulisan makalah ini memberikan penjelasan mengenai hak waris orang hilang tersebut apabila dilihat dari perspektif hukum Islam, yang selanjutnya dapat mengetahui apa saja upaya yang dapat dilakukan untuk memenuhi hak waris bagi orang hilang tersebut.




BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian Orang Yang Hilang (Mafqud)
Al-mafqud dalam bahasa Arab secara harfiah bermakna 'hilang'. Dikatakan faqadtu asy-syai'a idzaa adha'tuhu (saya kehilangan bila tidak mengetahui di mana sesuatu itu berada)[1]. Kita juga bisa simak firman Allah SWT berikut:"Penyeru-penyeru itu berkata: 'Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya."
Sedangkan menurut istilah para fuqaha, al-mafqud berarti orang yang hilang, terputus beritanya, dan tidak diketahui rimbanya, apakah dia masih hidup atau sudah mati. Atau mafqud Adalah dia yang terputus beritanya, keadaannya tidak diketahui, apakah dia masih hidup ataukah meninggal[2]. Dalam arti lain lagi yang di maksud orang maqfuq ialah orang yang pergi menjadi hilang tak tentu rimbanya, tak diketahui tempat tinggalnya dan alamatnya, juga tak diketahui apakah orang itu masih hidup atau sudah meninggal.[3] Bahwa kata "mafqud" berasal dari kata kerja faqoda, yafqidu, dan mashdarnya fiqdanan, fuqdanan, fuqudan, yang berarti ghoba anhu wa 'adamuhu telah hilang atau tiada. Secara lugowiyyah, mafqud berarti hilang atau lenyap. Sesuatu dikatakan hilang jika ia telah tiada.
Di dalam al-Quran terdapat ayat yang menyatakan qolu nahnu nafqidu shuwa'al maliki, yang artinya mereka menjawab kami telah kehilangan piala tempat minum raja. Sedangkan dalam pengertian hukum waris mafqud itu ialah orang yang hilang dan telah terputus informasi tentang diriya sehingga tidak diketahui lagi tentang keadaan yang bersangkutan, apakah dia masih hidup atau sudah wafat. Mafqud adalah orang yang hilang dan telah terputus informasi tentang dirinya dan tidak diketahui lagi tempat tinggalnya secara pasti sehingga tidak dapat dipastikan apakah ia masih hidup atau sudah wafat. Dengan demikian, mafqud berarti orang yang hilang. Orang yang hilang dari negerinya dalam waktu yang cukup lama dan tidak diketahui lagi keberadaannya apakah ia masih hidup atau sudah wafat. Contohnya adalah seorang pebisnis yang pergi berbisnis ke suatu daerah yang tengah dilanda perang, para relasinya yang dihubungi tidak mengetahui keberadaannya, karena menurut mereka, pebisnis tersebut telah pulang ke negerinya, sedangkan keluarganya di rumah menyatakan bahwa ia telah lama tidak pulang. Contoh lainnya adalah seorang nelayan yang berlayar untuk mencari ikan. Teman-temannya tidak mengetahui lagi keberadaannya, karena dia menghilang telah cukup lama. Atau seseorang yang merantau ke negara lain, baik dalam rangka melakukan studi atau kegiatan lainnya dalam waktu yang cukup lama tidak diketahui secara pasti keberadaannya. Dalam faraid disebutkan bahwa orang yang hilang (mafqud) adalah orang yang tidak diketahui lagi hidup atau matinya, atau orang yang terputus beritanya, dan tidak diketahui dimana ia kini berada. Para fuqaha telah menetapkan beberapa hukum yang berkenaan dengan orang yang hilang, diantaranya adalah:
1.      Istrinya tidak boleh dinikahi/dinikahkan.[4]
2.      Hartanya tidak boleh diwariskan, dan hak kepemilikannya tidak boleh diusik, sampai benar-benar diketahui keadaannya apakah ia masih hidup atau sudah mati. Atau telah berlalu selama waktu tertentu dan diperkirakan secara umum telah mati, dan qadhi (hakim) pun telah menetapkannya sebagai orang yang dianggap telah mati[5].
Kadang-kadang bisa juga ditetapkan sebagai orang yang masih hidup berdasarkan asalnya, hingga benar-benar tampak dugaan yang sebaliknya (yakni benar-benar sudah mati). Yang demikian itu berdasarkan ucapan Ali bin Abi Thalib r.a. tentang wanita yang suaminya hilang dan tidak diketahui rimbanya. Ali berkata: "Dia adalah seorang istri yang tengah diuji, maka hendaknya dia bersabar, dan tidak halal untuk dinikahi hingga ia mendapatkan berita yang meyakinkan akan kematian suaminya."



B.     Batas Waktu Untuk Menentukan Bahwa Seseorang Itu Hilang (Mafqud)
Penentuan wafatnya mafqud harus berdasarkan pada alat bukti yang jelas dan dengan alat bukti itu diduga keras bahwa mafqud tersebut telah wafat. Caranya adalah dengan memperhatikan teman-teman seumur/segenerasi dengan mafqud bersangkutan. Apabila teman-teman seumur/segenarasi mafqud itu tidak ada lagi yang hidup, maka hakim boleh menetapkan bahwa mafqud dimaksud telah wafat. Bila harta mafqud telah dibagikan kepada ahli warisnya, kemudian ternyata bahwa mafqud bersangkutan masih hidup dan kembali ke daerahnya, maka harta yang sudah dibagikan tersebut, sekiranya masih ada yang tersisa ditangan ahli waris yang telah menerimanya, dikembalikan oleh ahli warisnya itu kepada mafqud dimaksud. Jika harta itu telah habis, maka mafqud tidak dapat menuntut ahli waris yang menerima warisan tersebut untuk mengembalikannya. Muhammad Toha Abul 'Ula Kholifah megatakan bahwa hakim memutuskan mafqud ` telah wafat dalam keadaan:
a.       Yang bersangkutan hilang dalam situasi yang patut dianggap bahwa ia sebagai telah binasa, seperti karena ada serangan mendadak atau dalam keadaan perang.
b.      Yang bersangkutan pergi untuk suatu keperluan, tetapi tidak pernah kembali.
Dalam dua hal ini hakim dapat memutuskan bahwa yang bersangkutan telah wafat setelah berlangsung tenggat waktu 40 tahun sejak kepergiannya (mazhab Imam Ahmad).
c.       Yang bersangkutan hilang dalam suatu kegiatan wisata atau urusan bisnis. Dalam kasus ini hakim memutuskan kematian yang bersangkutan berdasarkan pertimbangan sendiri.
Mengenai masa atau periode yang dapat dijadikan dasar untuk menilai mafqud telah wafat diserahkan pada pertimbangan hakim jika ia hilang dalam waktu yang kian lama sehingga sudah tidak ada lagi orang yang satu periode dengan dia di daerahnya yang mungkin masih hidup, misalnya karena sudah mencapai batas waktu 100 atau 120 tahun. Dan ia baru dinyatakan telah wafat setelah yang bersangkutan diupayakan pencariannya melalui berbagai sarana yang memungkinkan.
Para Ulama berbeda pendapat mengenai batasan waktu bagi mafqud sehingga dia dianggap telah wafat. Ada pendapat yang mengatakan bahwa batasan waktu itu tidak perlu ditentukan dan sepenuhnya diserahkan pada pertimbangan hakim. Ulama Malikiyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa perlu ada batasan waktu yang dapat dijadikan patokan bagi penentuan wafatnya mafqud. Pendapat yang populer di kalangan ulama Malikiyah bahwa batasan waktu itu adalah 70 tahun, sedangkan di kalangan ulama Hanabilah batasan waktu itu adalah 90 tahun. Ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa batasan waktu itu tidak diperlukan. Yang jadi patokan bagi penentuan wafatnya mafqud menurut pendapat Ulama Hanafiyyah adalah dengan berpedoman pada kematian teman-temannya sebayanya di daerahnya. Maksudnya adalah dengan sudah tidak ada lagi rekan-rekan seusia mafqud yang masih hidup di daerah itu, berarti mafqud bersangkutan juga dianggap telah wafat. Dan ulama Syafi’iayh berpendapat penentuan batas waktu itu sepenuhnya menjadi domain ijtihad bagi hakim, dengan mengacu pada batas waktu atau kebiasaan di mana orang tidak mungkin lagi bisa hidup di atas batas usia tersebut.
Penentuan seseorang sebagai telah mafqud adalah berdasarkan pada tanggal atau waktu ditemuinya bukti kuat tentang kematian mafqud bersangkutan atau pada saat hakim memutuskan wafatnya mafqud. Jika penentuan itu berdasarkan pada ijtihad[6] atau persangkaan, di sini ada dua pendapat. Pertama, Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa waktu wafatnya mafqud dianggap sejak tanggal hilangnya mafqud bersangkutan. Sejak tanggal itulah dia dianggap telah mafqud. Konsekwensinya adalah bahwa ahli waris mafqud yang wafat sebelum tanggal tersebut tidak berhak mendapat warisan dari mafqud dimaksud karena warisan itu hanya berlaku bagi ahli waris yang masih hidup pada tanggal mafqud mulai hilang. Berbeda halnya dengan Syafi’i dan Ahmad yang berpendapat bahwa mafqud dianggap telah wafat sejak tanggal pernyataan kewafatannya, sehingga dengan demikian mafqud berhak mendapat warisan dari pewarisnya yang wafat sebelum tanggal kematian mafqud, dan ahli waris mafqud berhak mendapat warisan dari mafqud bersangkutan jika ahli warisnya masih hidup pada saat mafqud dinyatakan wafat
Tentang periode yang dapat diputuskan oleh hakim bahwa mafqud itu telah wafat, as-Shabuny mengatakan:
a.       Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa mafqud itu dianggap telah wafat jika orang-orang yang seusia dengan dia di daerahnya telah semua wafat, sehingga tidak ada lagi yang masih hidup, dan ini waktunya sekitar 90 tahun.
b.      Ulama Malikiyah berpendapat bahwa tenggat waktu itu adalah 70 tahun, dengan landasan hadits Rasul yang menyatakan bahwa usia umatku berkisar antara 60 sampai dengan 70 tahun.
c.       Ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa tenggat waktu itu adalah 90 tahun, yaitu batas usia orang-orang yang seperiode dengan dia di daerahnya. Tetapi, pendapat yang sahih di kalangan ini adalah penentuannya bukan berdasarkan pada bilangan waktu tertentu, melainkan berdasarkan pada bukti, yakni jika telah ada bukti bagi hakim tentang kematian mafqud bersangkutan, maka berdasarkan bukti itu hakim menetapkan kematian mafqud bersangkutan dan itu setelah berlangsung suatu periode di mana secara kebiasan bahwa seseorang sudah tidak mungkin lagi hidup di atas usia tersebut.
d.      Ulama Hanabilah berpendapat bahwa jika mafqud itu hilang dalam suasana yang memang memungkinkan yang bersangkutan itu telah binasa, seperti pergumulan peperangan yang begitu dahsyat di mana kedua belah pihak saling berhadap-hadapan dalam penyerangan, atau tenggelamnya alat angkutan yang ditumpanginya, di mana sebagian penumpang selamat dan sebagian lagi tidak selamat, maka di sini ditunggu sampai tenggat waktu empat tahun. Tetapi jika ia hilang dalam suasana yang tidak mungkin ia binasa, seperti pergi untuk berdagang, perjalanan wisata, atau menuntut ilmu, maka dalam hal ini ada dua pendapat:
1.      Ditunggu sampai yang bersangkutan berusia 90 tahun karena biasanya di atas usia ini sudah tipis kemungkinan bagi seseorang untuk bertahan hidup.
2.      Diserahkan pada pertimbangan hakim dalam sidang pengadilannnya secara legal berakibat salah satu dari dua keputusan masing-masing mempunyai konsekwensi dalam system kewarisa[7].

C.     Hak Waris Orang Hilang Dalam Perspektif Hukum Islam
Kewarisan merupakan himpunan peraturan-peraturan hukum yang mengatur cara pengurusan hak-hak dan kewajiban seseorang yang telah meninggal dunia oleh ahli waris atau badan hukum lainnya[8]. Mengenai orang hilang (mafqud) yang terputus beritanya sehingga tidak diketahui hidup-matinya, membuat masyarakat mencari keadilan ke Pengadilan Agama untuk mendapatkan ketetapan bahwa si mafqud meninggal dunia secara hukum. Perkara tersebut menarik untuk dikaji karena permasalahan hak waris mafqud menjadi kendala dalam proses pembagian harta warisan, yang mana status si mafqud tersebut tidak bisa diidentifikasi dengan jelas apakah masih hidup atau sudah meninggal dunia. Persoalan ini menjadi rumit karena, peraturannya secara rinci tidak terkodifikasi dalam peraturan yang berlaku baik, dalam al-Quran, hadis maupun dalam undang-undang yang berlaku. Dapatkah hak waris mafqud tersebut diperoleh sehingga perlu dilakukan pembahasan tentang hak waris mafqud. Hak waris adalah hak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh orang-orang yang meninggal dunia. Pemilik hak waris sering disebut sebaggai ahli waris. Dalam hukum kewarisan ada unsur-unsur yang memungkinkan peralihan harta peninggalan seseorang berlangsung sebagaimana mestinya. Unsur tersebut adalah pewaris, harta warisan dan ahli waris. Adapun yang menyebabkan seseorang menjadi ahli waris adalah karena hubungan darah dan hubungan kekerabatan atau hubungan nasab, dan hubungan perkawinan.
Ada tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris:
1.      Kerabat hakiki (yang ada ikatan nasab), seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan seterusnya.
2.      Pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i) antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersanggama) antar keduanya. Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris.
3.      Al-Wala, yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al-'itqi dan wala an-ni'mah. Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang yang membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-'itqi. Orang yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Karena itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan.
Deretan hak yang harus ditunaikan yang ada kaitannya dengan harta peninggalan adalah:
1.      Al-Wala, yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al-'itqi dan wala an-ni'mah. Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang yang membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-'itqi. Orang yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Karena itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan.
2.      Satu hal yang perlu untuk diketahui dalam hal ini ialah bahwa segala keperluan tersebut akan berbeda-beda tergantung perbedaan keadaan mayit, baik dari segi kemampuannya maupun dari jenis kelaminnya
3.      Hendaklah utang piutang yang masih ditanggung pewaris ditunaikan terlebih dahulu. Artinya, seluruh harta peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada ahli warisnya sebelum utang piutangnya ditunaikan terlebih dahulu
4.      Wajib menunaikan seluruh wasiat pewaris selama tidak melebihi jumlah sepertiga dari seluruh harta peninggalannya. Hal ini jika memang wasiat tersebut diperuntukkan bagi orang yang bukan ahli waris, serta tidak ada protes dari salah satu atau bahkan seluruh ahli warisnya. Adapun penunaian wasiat pewaris dilakukan setelah sebagian harta tersebut diambil untuk membiayai keperluan pemakamannya, termasuk diambil untuk membayar utangnya.
5.      Bila ternyata wasiat pewaris melebihi sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkannya, maka wasiatnya tidak wajib ditunaikan kecuali dengan kesepakatan semua ahli warisnya[9]. Hal ini berlandaskan sabda Rasulullah saw. ketika menjawab pertanyaan Sa'ad bin Abi Waqash r.a. pada waktu itu Sa'ad sakit dan berniat menyerahkan seluruh harta yang dimilikinya ke baitulmal. Rasulullah saw. bersabda: "... Sepertiga, dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya bila engkau meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam kemiskinan hingga meminta-minta kepada orang.
6.      Setelah itu barulah seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya sesuai ketetapan Al-Qur'an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama (ijma'). Dalam hal ini dimulai dengan memberikan warisan kepada ashhabul furudh (ahli waris yang telah ditentukan jumlah bagiannya, misalnya ibu, ayah, istri, suami, dan lainnya), kemudian kepada para 'ashabah (kerabat mayit yang berhak menerima sisa harta waris jika ada setelah ashhabul furudh menerima bagian).
Dalam faraid dinyatakan, apabila seseorang wafat dan mempunyai ahli waris, dan diantara ahli warisnya ada yang hilang dan tidak dikenal lagi rimbanya, maka cara pemberian hak warisnya ada dua keadaan:
a.       Ahli waris yang hilang tersebut sebagai penghalang bagi ahli waris lainnya[10]. Yakni termasuk ashabah tanpa ada satupun ashhabul furudh yang berhak untuk mendapat bagian.
b.      Ahli waris yang hilang tersebut bukan sebagai penghalang bagi ahli waris lainnya, bahkan ia sama berhak untuk mendapatkan warisan sesuai dengan bagian atau fardh-nya[11] (yakni termasuk ashhabul furudh).
Pada keadaan pertama: seluruh harta warisan peninggalan pewaris dibekukan, yakni tidak diberikan kepada ahli waris, untuk sementara hingga ahli waris yang hilang tersebut muncul atau diketahui hidup dan tempatnya. Bila ahli waris yang hilang ternyata masih hidup, maka dialah yang berhak untuk menerima atau mengambil seluruh harta warisnya. Namun, bila ternyata hakim telah menetapkannya sebagai orang yang telah mati, maka harta waris tadi dibagikan kepada seluruh ahli waris yang ada dan masing-masing mendapatkan sesuai dengan bagian atau fardh-nya. Sedangkan pada keadaan kedua, ahli waris yang ada berhak untuk menerima bagian yang paling sedikit di antara dua keadaan (yakni keadaan hidup dan matinya) orang yang hilang.
Bila ahli waris yang ada, siapa saja di antara mereka yang dalam dua keadaan orang yang hilang tadi sama bagian hak warisnya, hendaknya ia diberi hak waris secara sempurna. Namun, bagi ahli waris yang berbeda bagian hak warisnya di antara dua keadaan ahli waris yang hilang tadi, maka mereka diberi lebih sedikit di antara kedua keadaan tadi. Namun, bagi siapa saja yang tidak berhak untuk mendapatkan waris dalam dua keadaan orang yang hilang, dengan sendirinya tidak berhak untuk mendapatkan harta waris sedikit pun.
Muhammad Abul ’Ula Kholifah mengatakan bahwa ada suatu prinsip dalam pembagian warisan mafqud, yaitu jika dikaitan dengan harta pribadinya, dia dianggap sebagai hidup sampai diketahui atau dinyatakan kematiannya. Jika dikaitkan dengan harta orang lain, dia dianggap wafat, sehingga dengan demikian dia tidak termasuk ahli waris, sampai ada kejelasan statusnya, sudah wafatkah dia atau masih hidup. Atas dasar prinsip tersebut, maka teknis pembagian waris mafqud harus ditempuh melalui dua cara, yaitu:
1.      Mafqud dianggap masih hidup, sehingga bagiannya sementara ditunda sampai ada kejelasan statusnya.
2.      mafqud dianggap sudah wafat, sehingga dengan demikian dia bukan sebagai ahli waris.
Karena demikian adanya, maka perlu diperhatikan keberadaan ahli waris lainnya, yaitu:
a.       Terhadap ahli waris yang bagiannya tetap sama dalam dua keadaan tersebut, yakni baik mafqud bersangkutan masih hidup ataupun sudah wafat, maka kepadanya diberikan bagian secara penuh.
b.      Terhadap ahli waris yang bagiannya berubah dalam salah satu dari dua keadaan dimaksud, maka kepadanya diberikan bagian yang lebih kecil, sedangkan sisanya sementara ditunda sampai ada kejelasan status mafqud. Jika mafqud bersangkutan ternyata benar-benar masih hidup, maka ia mengambil bagian yang sementara ditunda itu. Sebaliknya, jika ternyata mafqud tersebut benar-benar telah wafat, maka bagian yang sementara ditunda itu diberikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya.
c.       Terhadap ahli waris yang belum jelas status kewarisannya, artinya ia berhak mewaris dalam satu cara, tetapi tidak berhak mewaris dalam cara yang lain, maka di sini wajib ditunda bagiannya sampai jelas status mafqud.
Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh Wahbah az-Zuhaily yang menyatakan bahwa teknis pembagian kewarisan mafqud itu adalah sebagai berikut:
a.       Jika dia sebagai ahli waris tunggal,tidak ada ahli waris lain selain dirinya sendiri, maka kewarisan itu ditunda pembagiannya.
b.      Jika bersama mafqud itu ada ahli waris lain, maka teknis pembagiannya dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1.      cara pertama, mafqud dianggap sebagai masih hidup.
2.      cara kedua, mafqud dianggap sebagai sudah wafat.
Kemudian kedua asal masalah dari pembagian tersebut disatukan dalam satu pembagian.

 Hasilnya, diberikan kepada para ahli waris yang berhak menerimanya, dengan ketentuan:
1.      Kepada ahli waris yang memperoleh bagian samabesar dalam dua keadaan tersebut, diberikan bagiannya secara penuh.
2.      Kepada ahli waris yang memperoleh bagian berbeda dalam dua keadaan tersebut, diberikan bagian yang lebih kecil, dan sisanya sementara ditunda sampai ada kejelasan status mafqud. Jika mafqud itu ternyata masih hidup, maka sisa bagian yang sementara ditunda itu menjadi haknya.
Menurut as-Shobuny, kewarisan mafqud itu ada dua kemungkinan. Pertama, bersama mafqud ada ahli waris lain yang terhijib hirman oleh mafqud bersangkutan. Dalam hal ini, maka pembagian warisan belum bisa dilaksanakan karena mesti ditunda. Sebagai contoh adalah X wafat dengan meninggalkan ahli waris yang terdiri dari seorang saudara kandung laki-laki, seorang saudara kandung perempuan, dan seorang anak laki-laki mafqud. Di sini, karena anak laki-laki dari X itu menghijab saudara, maka pembagian warisan X terhadap ahli waris dimaksud belum dapat dilaksanakan sampai ada kejelasan status mafqud, apakah dia masih hidup atau sudah wafat.
Jika mafqud masih hidup, maka ia sebagai ahli waris tunggal dari X dan oleh karena itu, maka warisan X sepenuhnya jatuh kepada mafqud bersangkutan. Tetapi jika mafqud itu ternyata sudah wafat, maka saudara kandung laki-laki dan perempuan dari X itulah sebagai ahli warisnya, dan mereka berhak atas harta peninggalan X. Kedua, bersama mafqud ada ahli waris lain yang sama-sama berhak mewaris. Dalam hal ini, maka pembagian warisan mafqud dapat dilaksanakan dengan memperhitungkan kemungkinan masih hidup dan sudah wafatnya mafqud bersangkutan, dengan catatan bahwa:
1.      Kepada ahli waris yang perolehan bagiannya sama, tidak berkurang dalam dua keadaan, baik mafqud itu masih dianggap hidup ataupun sudah wafat, diberikan bagiannya secara lengkap.
2.      Terhadap ahli waris yang perolehan bagiannnya berbeda antara dua keadaan, yakni dalam hal mafqud dianggap masih hidup dan sudah wafat, diberikan bagian yang terkecil dari dua perolehan dimaksud.
3.      Terhadap ahli waris yang tidak mendapat perolehan bagian, baik dalam hal mafqud dianggap masih hidup ataupun sudah wafat, tidak mendapatkan perolehan.

D.    Upaya Untuk Memenuhi Hak Waris Bagi Orang Yang Hilang
Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw merupakan sebuah aturan yang lengkap dan sempurna, yang mengatur segala aspek kehidupan untuk keselamatan dunia dan akhirat.
Salah satu syariat yang diatur dalam ajaran Islam adalah tentang hukum waris, yakni pemindahan harta warisan kepada ahli waris yang berhak menerimanya. Kalau seseorang hilang, tidak ketahuan kemana perginya, padahal ia ada meninggalkan harta atau didalam masa hilangnya ada seorang keluarganya mati dan ia dapat warisan.
Ada ulama berkata, bahwa hartanya sendiri, dan harta yang ia dapat warisan itu tidak boleh diapa-apakan hingga lewat 90 tahun, barulah boleh dibagikan kepada warisnya. Ada yang menwajibkan menunggu hingga masa yang orang-orang sebaya dengannya meninggal. Ada yang berpendapat bahwa hartanya itu diserahkan kepada baitul mal buat dijaga dan ditarik hasilnya, dikeluarkan belanja-belanja yang perlu dan pantas seperti gaji pengurus, zakat, belanja orang-orang yang ada dalam tanggungannya dan sebagainya sambil dijalankan ikhtiar buat mencari tahu halnya dengan apa-apa daya upaya yang pantas.
Sesudah dirasa ikhtiar puas, maka boleh Qodhi, Imam atau membagikan 2/3 dari hartanya kepada waris-warisnya dan 1/3 lagi tetap disimpan dalam baitul mal hingga kira-kira orang itu sampai umur pada ghalibnya mesti mati, barulah 1/3 itu lagi dibagikan kepada ahli warisnya yang masih ada pada waktu itu; dan kalau ahli warisnya tidak ada sama sekali maka dibagikan kepada ulul arhaamnya ( keluarganya ). Alasan yang dapat dipergunakan untuk menetapkan mafqudnya seseorang :
1.      Tidak ada kabar beritanya dan keluarga tidak tahu dimana keberadaannya, sudah diusahakan mencari tahu dimana orang mafqud berada.
2.      Menurut aturan Islam, keberadaan kabar berita orang mafqud ditunggu 4-5 tahun.
3.      Jika lewat dari waktu tersebut, maka bisa mengajukan ke Pengadilan Agama untuk menetapkan orang mafqud tersebut mati secara hukmy (hukum).
4.      Keluarga sudah berusaha untuk mencari informasi keberadaannya serta bisa mengumumkannya melalui media elektronik/cetak/pihak berwajib.
Dasar pertimbangan hakim untuk mengabulkan permohonan penetapan bagi yang mafqud adalah[12] :
a.       Bukti-bukti berupa keterangan dari keluarga, media cetak, elektronik, dan pihak berwajib bahwa orang mafqud sudah diusahakan mencari keberadaannya.
b.      Tenggang waktu menunggu sudah sangat lama.
c.       Ada perbuatan hukum yang harus segera keluarga selesaikan, dan perbuatan hukum tersebut menyangkut hak dan kewajiban orang mafqud serta keluarganya.
Oleh karena permohonan agar seseorang dinyatakan sebagai dalam keadaan mafqud secara jelas menjadi yurisdiksi voluntair pengadilan agama, maka praktek caranya berlaku sepenuhnya ketentuan mengenai perkara volunter, antara lain:
1.      Permohonan diajukan dengan surat permohonan yang ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya yang sah dan diajukan kepada Ketua Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal pemohon.
2.      Pemohon yang tidak dapat menulis dapat mengajukan permohonannya secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan Agama yang akan menyuruh mencatat permohonan tersebut.
3.      Landasan hukum dan psristiwa yang menjadi dasar permohonan, cukup memuat dan menjelaskan hubungan hukum (rechtsver houding) antara diri pemohon dengan permasalahan hukum yang dipersoalkan. Sehubungan dengan hal itu, fondamentum petendi atau posita permohonan pada prinsipnya didasarkan pada ketentuan pasal undang-undang yang menjadi alasan permohonan dengan menghubungkan ketentuan itu dengan peristiwa yang dihadapi pemohon.
4.      Petitum permohonan tidak boleh melanggar atau melampaui hak orang lain. Ia harus benar-benar murni merupakan permintaan penyelesaian kepentingan pemohon, dengan acuan:
a.       isi petitum merupakan permintaan yang bersifat deklaratif.
b.      petitum tidak boleh melibatlkan pihak lain yang tidak ikut sebagai pemohon.
c.       tidak boleh memuat petitum yang bersifat condemnatoir (mengandung hukum).
d.      petitum harus dirinci satu persatu tentang hal-hal yang dikehendaki pemohon untuk ditetapkan pengadilan agama kepadanya.
e.       petitum tidak boleh bersifat compositur atau ex aequo et bono.
Dari berbagai pandangan mengenai hak waris bagi mafqud yang sudah dipaparkan sebelumnya, maka untuk memenuhi hak waris bagi mafqud perlu ketegasan dari pemerintah. Mafqud yang belum dapat diketahui keberadaannya, apakah dia masih hidup atau sudah meninggal tetap harus dipenuhi haknya.[13]



















BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Mafqud adalah orang yang hilang dan telah terputus informasi tentang dirinya dan tidak diketahui lagi tempat tinggalnya secara pasti sehingga tidak dapat dipastikan apakah ia masih hidup atau sudah wafat. Orang yang hilang dari negerinya dalam waktu yang cukup lama dan tidak diketahui lagi keberadaannya apakah ia masih hidup atau sudah`wafat. Tentang periode yang dapat diputuskan oleh hakim bahwa mafqud itu telah wafat, as-Shabuny mengatakan:
1.      Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa mafqud itu dianggap telah wafat jika orang-orang yang seusia dengan dia di daerahnya telah semua wafat, sehingga tidak ada lagi yang masih hidup, dan ini waktunya sekitar 90 tahun.
2.      Ulama Malikiyah berpendapat bahwa tenggat waktu itu adalah 70 tahun, dengan landasan hadits Rasul yang menyatakan bahwa usia umatku berkisar antara 60 sampai dengan 70 tahun.
3.      Ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa tenggat waktu itu adalah 90 tahun, yaitu batas usia orang-orang yang seperiode dengan dia di daerahnya.
4.      Ulama Hanabilah dalam hal ini ada dua pendapat: Ditunggu sampai yang bersangkutan berusia 90 tahun karena biasanya di atas usia ini sudah tipis kemungkinannya bagi seseorang untuk dapat bertahan hidup; diserahkan pada petimbangan hakim.
Cara pemberian hak warisnya ada dua keadaan: ahli waris yang hilang tersebut sebagai penghalang bagi ahli waris lainnya (yakni termasuk ashabah tanpa ada satupun ashhabul furudh yang berhak untuk mendapat bagian), ahli waris yang hilang tersebut bukan sebagai penghalang bagi ahli waris lainnya, bahkan ia sama berhak untuk mendapatkan warisan sesuai dengan bagian atau fardh-nya (yakni termasuk ashhabul furudh). Untuk memenuhi hak waris bagi mafqud perlu ketegasan dari pemerintah. Mafqud yang belum dapat diketahui keberadaannya, apakah dia masih hidup atau sudah meninggal tetap harus dipenuhi haknya.Sampai saat ini ketentuan materiil mengenai kemafqudan bagi peradilan agama belum ada aturannya dalam bentuk hukum positif, tetapi telah kian enumeratif dibahas oleh para ulama dalam berbagai kitab fikih sehingga oleh karena itu hasil ijtihad para ulama fikih tersebut dapat dijadikan rujukan dalam menyelesaikan perkara dimaksud.







DAFTAR PUSTAKA
A. Sukris Samadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif. Jakarta: PT Grafindo Persada. 1997.
Muhammad Jawad Mughniyah, Perbandingan Hukum Waris Syiah dan sunnah. Surabaya: Al-Iklash, 1988.
Zakiah Daradjat, Usman Said, Husni Rahiem, Murni Jamal, Suaibu Thalib. Ilmu Fiqih. Jakarta Departemen Agama, 1986.
Amir Hamka 2011. Bagian Harta Waris Bagi Ahli Waris Yang Dianggap Hilang (Mafqud). http://mandiri84.wordpress.com. Diakses Tanggal 7 Oktober 2011
Arman. 2008. Tanya Jawab Masalah Waris. http://arsiparmansyah.wordpress.com. Di Akses 7 Oktober 2011
Muhammad Ali Ash-Shabuni. Waris Orang Hilang (Mafqud). http://media.isnet.org. Diakses 7 Oktober 2011
Opi.2010.Hak Waris Orang Yang Hilang dan Tertawan. http:// www. faraidweb.com. Diakses tanggal 7 Oktober 2011
Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri, Ringkasan Fiqih Islam, Indonesia: Terj Islamhouse.com.2009
Yazhayuadevi 2010. Hak Waris Bagi Orang Yang Hilang. http://yazhayuadevi.blogspot.com. Diakses Tanggal 7 Oktober 2011








[1] Yazhayuadevi 2010. Hak Waris Bagi Orang Yang Hilang. http://yazhayuadevi.blogspot.com. Diakses Tanggal 7 Oktober 2011
[2] Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri, Ringkasan Fiqih Islam, Indonesia: Terj Islamhouse.com.2009.hal. 27.
[3] Zakiah Daradjat, Usman Said, Husni Rahiem, Murni Jamal, Suaibu Thalib. Ilmu Fiqih. (Jakarta Departemen Agama, 1986). Hal.166.

[4] Opi.2010.Hak Waris Orang Yang Hilang dan Tertawan. http:// www. faraidweb.com. Diakses tanggal 7 Oktober 2011.
[5] Opi.2010.Hak Waris Orang Yang Hilang dan Tertawan. http:// www. faraidweb.com. Diakses tanggal 7 Oktober 2011.

[6]  Ulama ahli hkum Islam bersepakat bahwa wajib menanti didalam membagi hartanya sampai melampaui  batas masa yang tidak mungki ia hidup misalnya, Dan hal itu diserahkan  saja kepada pandangan Dan ijtihad hakim Lihat Muhammad Jawad Mughniyah, Perbandingan Hukum Waris Syiah dan sunnah. (Surabaya: Al-Iklash, 1988). hal. 108.
[7] A. Sukris Samadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif. (Jakarta: PT Grafindo Persada. 1997). Hal. 235.
[8] Yazhayuadevi 2010. Hak Waris Bagi Orang Yang Hilang. http://yazhayuadevi.blogspot.com. Diakses Tanggal 7 Oktober 2011

[9] Yazhayuadevi 2010. Hak Waris Bagi Orang Yang Hilang. http://yazhayuadevi.blogspot.com. Diakses Tanggal 7 Oktober 2011.

[10] Arman. 2008. Tanya Jawab Masalah Waris. http://arsiparmansyah.wordpress.com. Di Akses 7 Oktober 2011.
[11] Arman. 2008. Tanya Jawab Masalah Waris. http://arsiparmansyah.wordpress.com. Di Akses 7 Oktober 2011.
[12] Yazhayuadevi 2010. Hak Waris Bagi Orang Yang Hilang. http://yazhayuadevi.blogspot.com. Diakses Tanggal 7 Oktober 2011.
[13] Yazhayuadevi 2010. Hak Waris Bagi Orang Yang Hilang. http://yazhayuadevi.blogspot.com. Diakses Tanggal 7 Oktober 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar