HADITS DHAIF DAN
MACAM-MACAMNYA
Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
STUDI HADITS
Dipresentasikan, 13 Oktober 2011
Oleh Kelompok VI:
Khusnul Mubarok
Taswirudin
Pembimbing:
Evi Palinda
FAKULTAS
TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI (UIN)
SULTAN
SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
2011
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kehadirat
Allah SWT, yang dengan rahmat dan inayah-Nya. Makalah ini disusun untuk
memenuhi mata kuliah Studi Hadis yang telah diberikan oleh dosen pembimbing
tepat waktunya walaupun cukup sederhana.
Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada Ibu Evi Palinda selaku dosen pembimbing mata kuliah Studi Hadis. Penulis
juga berterima kasih pada teman-teman yang telah memberi pengarahan dan
petunjuk dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan
makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran dari
dosen pembimbing maupun teman-teman sangat penulis harapkan tegur sapanya untuk perbaikan
makalah ini dan selanjutnya.
Kepada Allah SWT, kami memohon taufik
dan hidayah-Nya semoga dalam pembuatan makalah ini senantiasa dalam
keridhaannya-Nya. Amin.
Pekanbaru,
November 2011
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
BAB I. PENDAHULUAN
- Latar Belakang............................................................................................... 1
- Tujuan............................................................................................................ 1
BAB II. PEMBAHASAN
- Dhaif Karena Terputus Sanadnya.................................................................. 3
- Dhaif Karena Ketercelaan Sanadnya............................................................. 6
BAB III. PENUTUP
- Kesimpulan.................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Meneliti kebenaran suatu berita, merupakan bagian dari upaya
membenarkan yang benar dan membatalkan yang batal. Kaum muslimin sangat besar
perhatiannya dalam hal ini, baik untuk menetapkan suatu pengetahuan atau
pengambilan suatu dalil. Apalagi jika hal itu berkaitan dengan riwayat hidup
Nabi mereka, yang berupa ucapan dan perbuatan yang dinisbahkan kepada beliau. Pembahasan
tentang pembagian hadis secara umum tentu saja akan sangat kompleks dan
dibutuhkan perhatian tersendiri. Karena pembagian hadis tidak bisa terlepas
dari sudut pandang mana hadis tersebut dilihat. Kalau suatu hadis ditinjau dari
jumlah periwayat (kuantitas), akan dihasilkan hadis mutawatir, hadis masyhur,
hadis ahad. Sedangkan jika ditinjau dari segi kualitas (diterima atau
ditolaknya sebuah hadis), maka akan dihasilkan; hadis sahih, hadis hasan dan
hadis dha’if.
B. Tujuan
Dalam pembuatan makalah ini penulis
mempunyai maksud dan tujuan antara lain :
- Memberi pemahaman Hadis Dhaif dan Macamnya.
- Untuk bahan diskusi pada mata kuliah Studi Hadis.
3. Untuk
memenuhi tugas mata kuliah yang diberikan dosen pembimbimg.
BAB II
PEMBAHASAN
Hadis Dha’if dan Macam-macamnya
Yang dimaksud hadis da’if adalah hadis yang tidak memenuhi
sebagian atau seluruh syarat hadis sahih atau hasan[1],
misalnya, sanadnya ada yang terputus, di antara periwayat ada yang pendusta atau
tidak dikenal, dan lain-lain. Seperti halnya hadis Hasan itu dapat naik
tingkatannya menjadi shahih li ghairih, ada hadis dha’if tertentu yang
dapat naik tingkatan menjadi Hasan li ghairih. Yaitu hadis yang di dalam
sanadnya terdapat periwayat yang tidak terkenal di kalangan ulama Hadis. Orang
tersebut tidak dikenal banyak salah, tidak pula dikenal berdusta. Kemudian,
hadis ini dikuatkan oleh hadis yang sama melalui jalur lain. Hadis yang dha’ifnya
disebabkan oleh hal di atas digunakan oleh banyak orang Islam untuk dalil fadha^ilul
a’tnal. Adapun hadis dha’if jenis lain tidak dibenarkan untuk dalil
keagamaan karena kadar kedhaifan-nya tinggi. Dha’if seperti ini juga tidak
dapat naik derajatnya menjadi hasan lighairih.
Menurut
pendapat Ibn Taimiyah, pembagian kualitas hadis menjadi sahih, hasan dan da’if
itu berlaku mulai zaman Imam Turmuzi (w 279 H/892 M). Pada zaman sebelumnya,
pembagian kualitas hadis hanya dikenal dua macam saja, yaitu sahih dan da’if.
Menurut Ibn Hibban al-Bustiy (wafat 354 H = 965 M), jumlah
hadis dha’if ada empat puluh sembilan macam. Menurut al-Mannawiy (wafat
1031 H), secara teoritis hadis dha’if dapat mencapai seratus duapuluh
sembilan macam, tetapi yang dimungkinkan terwujudnya, ada delapan puluh satu
macam. Sebagian ulama lagi menyebutkan jumlah yang berbeda dari jumlah yang
telah disebutkan sebelumnya. Walaupun angka jumlah hadis dha ‘if tidak
disepakati oleh ulama, akan tetapi di sisi yang lain penyebutan angka itu
menunjukkan bahwa hadis dha ‘if memang cukup banyak jumlahnya.
Dalam pembahasan ini, macam-macam hadis dha’if tersebut
tidak diuraikan secara terinci dan mendalam. Pokok pembahasan dibatasi hanya
pada pengertian beberapa macam hadis dha’if secara umum saja. Ada
beberapa sebab yang menjadikan sebuah hadis diberi nilai dha’if. Ada kalanya
sanadnya tidak bersambung, ada kalanya juga karena periwayatnya tercacat atau
sebab lain
Adapun
fokus kajian ini akan diarahkan lebih pada hal-hal yang berkaitan
pembagian hadis yang berkaitan dengan kritik sanad dan matan
A.
Dhaif
Karena Terputus Sanadnya
Dalam
hubungannya dengan tidak terpenuhinya unsur sanad bersambung, secara
garis besar Ibn Hajar al-’Asqalaniy membagi hadis dha’if kepada lima
macam. Yakni, hadis mu’allaq, hadis mursal, hadis mu’dhal, hadis
munqathi’, dan hadis mudallas[2].Kelima
macam istilah ini menerangkan letak dan jumlah periwayat yang terputus dalam sanad.
- Hadis Mu’allaq.
Yang dimaksud dengan hadis mu ‘allaq [3]ialah
hadis yang periwayat di awal sanad-nya (periwayat yang disandari oleh
penghimpun hadis) gugur (terputus), seorang atau lebih secara berurutan. Jadi,
yang menjadi patokan dalam hal ini adalah keterputusan periwayat di awal sanad.
Apabila yang terputus lebih dari seorang periwayat, maka keterputusan itu
harus dimulai dari awal sanad secara berurutan. Sekiranya periwayat yang
terputus (gugur) bukan di awal sanad, atau tidak berurutan, maka hadis
itu tidak dinamakan sebagai mu’allaq. Di segi yang lain, hadis mu’allaq.
adalah hadis marfu’, karena hadis itu disandarkan kepada Nabi.
- Hadis Mursal.
Yang dimaksud dengan hadis mursal [4]menurut
mayoritas ulama hadis, ialah hadis yang disandarkan langsung kepada Nabi oleh al-tabi’iy,
baik al-tabi’iy besar maupun al-tabi’iy kecil, tanpa terlebih
dahulu hadis itu disandarkan kepada sahabat Nabi. Menurut pendapat ini, hadis
dinyatakan sebagai mursal, apabila hadis itu marfu’ dan periwayat
yang berstatus al-tabi ‘iy tidak menyebutkan nama sahabat yang menerima
langsung hadis itu dari Nabi. Dalam hal ini, al-tabi ‘iy tidak dibedakan
antara yang senior dan yang yunior
Sebagian ulama mensyaratkan, al-tabi’iy yang
menyandarkan hadis langsung kepada Nabi itu haruslah al-tabi’iy besar,
misalnya Sa’id bin al-Musayyab (wafat 94 H = 712 M). Karena, al-tabi’iy besar
menerima hadis pada umumnya langsung dari sahabat Nabi. Sedang apabila yang
menyandarkan al-tabi’iy kecil, misalnya Ibn Syihab al-Zuhriy (wafat 124
H = 742 M), maka hadis itu tidak disebut sebagai hadis mursal, melainkan
disebut sebagai hadis munqathi’. Karena, al-tabi’iy kecil
menerima hadis pada umumnya dari al-tabi ‘iy besar dan tidak langsung
dari sahabat Nabi. Menurut pendapat ini, hadis mursal itu harus marfu’,
periwayat yang terputus (gugur) haruslah periwayat yang berstatus sahabat
Nabi dan periwayat yang menggugurkan haruslah al-tabi’iy besar
- Hadis Mu ‘dhal.
Yang dimaksud hadis mu’dhal adalah hadis yang terputus sanad-nya,
dua orang periwayat atau lebih secara berturut-turut[5].
Termasuk jenis ini adalah hadis yang dimursalkan oleh tabi’ al-tabi’i.
Menurut ulama hadis, apabila kalangan ulama fiqh, misalnya
al-Sya-fi’iy, menyatakan dalam kitabnya, “Telah bersabda Rasulullah SAW …,”
maka hadis tersebut adalah mu ‘dhal. Karena, ulama fiqh yang
sezaman dengan al-Syafi’iy pada umumnya hidup pada masa sesudah generasi al-tabi’in.
Dengan demikian mereka menerima riwayat hadis Nabi melalui, sedikitnya, dua
generasi. Jadi, dalam riwayat hadis yang mereka kemukakan seperti contoh di
atas, terdapat dua atau tiga orang periwayat secara berurut yang tidak mereka
sebutkan. Sedang menurut ulama fiqh atau ushul al-fiqh, sebagaimana
telah dikemukakan di atas, hadis yang demikian itu disebut sebagai hadis mursal.
- Hadis Munqathi’[6] berbeda pendapat dalam hal ini. Pendapat-pendapat ulama tersebut sebagai berikut:
a.
hadis
munqathi’ ialah hadis yang sanad-nya terputus di bagian mana
saja, baik di bagian periwayat yang berstatus sahabat, maupun periwayat yang
bukan sahabat.
b.
hadis
munqathi’ ialah hadis yang sanad-nya terputus, karena periwayat
yang tidak berstatus al-tabi‘in dan sahabat Nabi telah menyatakan
menerima hadis dari sahabat Nabi.
c.
hadis
munqathi’ ialah hadis yang bagian sanad-nya sebelum sahabat, jadi
periwayat sesudah sahabat, hilang atau tidak jelas orangnya.
d.
hadis
munqathi’ adalah hadis yang dalam sanad-nya ada periwayat yang
gugur seorang atau dua orang tidak secara berurutan.
e.
hadis
munqathi’ ialah hadis yang dalam sanad-nya ada seorang periwayat
yang terputus atau tidak jelas.
f.
hadis
munqathi’ ialah hadis yang sanad-nya di bagian sebelum sahabat,
jadi periwayat sesudah sahabat, terputus seorang atau lebih tidak secara
berurut dan tidak terjadi di awal sanad.
g.
hadis
munqathi’ ialah pernyataan atau perbuatan al-tabi’in.
- Hadis Mudallas.[7]
Dikatakan
mudallas, karena dalam hadis itu terdapat tadlis yaitu
bercampurnya gelap dan terang. Adapun hadis mudallas dinamai demikian karena ia
mengandung kesamaran dan ketertutupan. Jadi yang dimaksud dengan hadis mudallas
adalah hadis yang di dalamnya ada sesuatu yang disembunyikan.
Menurut
ulama hadis, jenis tadlis secara umum ada dua macam, tadlis al-isnad dan
tadlis al-syuyukh[8].
Yang
dimaksud dengan tadlis al-isnad ialah seorang periwayat menerima hadis
dari orang yang semasa, tetapi tidak bertemu langsung. Atau ia menerima/bertemu
langsung, tetapi tidak menyebut namanya.
Misalnya, ia hanya mengatakan, “saya mendengar hadis dari si polan”.
Diperkirakan, tidak menyebut nama itu mengandung maksud agar aib yang ada pada
guru tidak kelihatan. Ulama sangat mencela periwayat yang melakukan tadlis, khususnya
tadlis al-isnad. Karena, orang yang me-lakukan tadlis telah
melakukan pengelabuan kualitas hadis kepada orang lain. Kualitas hadis yang
bercacat dilaporkan seolah-olah tidak bercacat.
Periwayat
yang telah diketahui pernah melakukan tadlis, misalnya dia menggunakan
kata-kata sami’tu atau haddasaniy pada hal dia tidak me-nerima
riwayat hadis itu dengan al-sama’, seluruh hadis yang disampaikan oleh
periwayat tersebut ditolak oleh ulama hadis. Sikap ulama menolak riwayat
dari periwayat yang telah men-tadlis-kan hadis, walaupun pen-tadlis-an
itu hanya dilakukan sekali saja, merupakan sikap yang sangat hati-hati dari
ulama hadis.
Selanjutnya,
yang dimaksud dengan tadlis al-syuyukh ialah seorang periayat menyebut nama
pemberi hadis, bukan namanya yang dikenal oleh halayak, tetapi namanya kurang
dikenal. Misalnya, al-Khatib berkata, “Telah bercerita kepada kami Ali
Ibn Abu Ali al-Bishri……” nama yang terkenal tokoh yang dimaksud adalah Abul
Qasim Ali ibn Abu Ali, bukan Ali saja. Tampaknya hal yang lumrah bila orang itu
lebih dikenal nama kampungnya dari pada namanya sendiri, seperti ada juga orang
yang lebih dikenal dengan namanya dari pada gelarnya.
Kesalahan
penyebutan identitas pribadi guru tersebut memang sangat dimungkinkan. Karena,
periwayat hadis yang memiliki nama ataupun kunyah yang mirip cukup
banyak jumlahnya dengan kualitas pribadi yang berbeda.[9]
Ulama
hadis telah membahas cukup panjang berbagai hadis yang termasuk jenis mudallas.
Hal ini sebagai salah satu bukti, betapa ulama hadis sangat hati-hati dalam
melakukan penelitian hadis.
B.
Dhaif
Karena Ketercelaan Sanadnya
Selain
macam-macam hadis yang telah dikemukakan di atas, masih ada lagi jenis hadis
yang termasuk terputus sanad-nya. Yakni, hadis-hadis mawquf, maqthu’,
syadz, dan mu’all (mu’allal). Dua macam hadis yang disebutkan
pertama, sanad-nya tidak sampai kepada Nabi, sedang dua macam yang
disebutkan terakhir, sebagaimana telah dikemukakan dalam pembahasan terdahulu,
bentuk keterputusan sanad-nya cukup beragam.
Adapun
hadis yang tidak memenuhi unsur-unsur periwayat bersifat adil dan atau periwayat
bersifat dhabit, jenisnya cukup banyak. Hal ini di-sebabkan karena kualitas
ketercelaan periwayat hadis cukup banyak macam-nya.
Ibn
Hajr al-’Asqalaniy membagi periwayat hadis, dilihat dari sifat ketercelaan yang
dimiliki oleh para periwayat, kepada sepuluh macam peringkat. Sifat ketercelaan
periwayat yang disebutkan lebih dahulu memiliki peringkat yang lebih buruk
daripada sifat ketercelaan yang disebutkan berikutnya. Urutan peringkat itu
diberi istilah-istilah sebagai berikut:
- al-kadzib, maksudnya: dikenal suka berdusta.
- al-tuhmat bi al-kadzib, maksudnya: tertuduh telah berdusta.
- fahusya ghalathuhu, maksudnya: riwayatnya yang salah lebih banyak daripada yang benar.
- al-ghaflat ‘an al-itqan, maksudnya: lebih menonjol sifat lupanya daripada hafalnya.
- al-fisq, maksudnya: berbuat atau berkata fasik tetapi belum sampai men-jadikannya kafir.
- al-wahm, maksudnya: riwayatnya diduga mengandung kekeliruan.
- al-mukhalafah ‘an al-siqat, maksudnya: riwayatnya ber-lawanan dengan riwayat orang-orang yang siqat
- al-jahalah, maksudnya: tidak dikenal jelas pribadi dan keadaan periwayat itu.
- al-bid’at, maksudnya: berbuat bid’ah yang mengarah ke fasik, tetapi belum menjadi-kannya kafir.
- su’ al-hijzh, maksudnya: hafalannya jelek sehingga riwayatnya banyak salah, tetapi di samping itu ada juga yang benar.
Jadi, periwayat yang disifati dengan sifat ketercelaan yang
termaktub di butir pertama lebih
buruk tingkat ketercelaannya daripada periwayat yang disifati dengan sifat ketercelaan yang
termaktub di butir kedua, dan demikian seterusnya
Menurut
Ibn Hajar, lima macam dari kesepuluh
peringkat sifat ketercelaan tersebut merusak keadilan periwayat, sedang lima
macam lainnya merusak ke-dhabith-an periwayat.19
Ibn Hajar tidak menjelaskan secara terinci sifat-sifat ketercelaan yang
masing-masing merusak keadilan dan ke-dhabith-an dimaksud.
‘Aliy
al-Qariy (wafat 1014 H) menyatakan, sifat-sifat ketercelaan yang dikemukakan
oleh Ibn Hajar yang merusak keadilan periwayat ialah: 1 al-kadzib; 2 al-tuhmat bi al-kadzib; 3 al-fisq;
4 al-jahalat; dan 5 al-bid’at. Sedang lima macam selainnya
merusak ke-dhabith-an peri-wayat.
Adapun
hadis-hadis yang dianggap daif karena kecacatan dari periwayat adalah:
- Hadis Mudha’af.
Yang dimaksud hadis mudha’af adalah hadis yang tidak
disepakati kedhaifannya. Sebagian ahli hadis menilainya mengandung kedha’ifan,
baik di dalam sanad maupn dalam matan, dan sebagian yang lain menilainya kuat.
Akan tetapi penilaian dhaif itu lebih kuat. Dengan demikian hadis mudhaf
dianggap sebagai hadi daif yang paling tinggi tingkatannya.
- Hadis Matruk.
Yaitu hadis yang salah satu periwayat yang tertuduh dusta[10].
Dusta itu, boleh jadi dalam soal meriwayatkan hadis maupun soal lain. Hadis semacam
ini disebut matruk, bukan maudhu’, karena periwayat tersebut
baru dicurigai berdusta meriwayatkan hadis, bukan terbukti telah membuat hadis.
- Hadis Mu’allal.
Yaitu hadis. Pada umumnya, cacat itu pada sanad.
Misalnya, “menyam-bung” sanad yang sebenarnya terputus. Sedangkan cacat pada
matan, sering kali mengambil bentuk penambahan kalimat oleh periwayat atas teks
hadis, seolah-olah, tam-bahan itu termasuk matan hadis.
Meneliti ‘illat hadis dimaksud sangat rumit, karena, hadis
itu kelihatannya sudah shahih. Untuk penelitian ini di-perlukan intuisi,
kecerdasan, kekuatan hafalan, dan banyak-nya hadis yang dihafal. Kata Imam
al-Hakim, kemampuan meneliti ‘illat hadis semacam ini bagaikan kemampuan
se-seorang dapat membedakan uang logam palsu dari yang asli melalui pendengaran
lentingannya.
- Hadis Munkar.
Yaitu hadis yang pada sanadnya ada seorang perawi yang parah
kesalahannya atau banyak kelupaannya atau nampak kefasikannya[11].
Dengan definisi ini maka ia kebalikan dari hadis ma’ruf, yang biasa
didefinisikan “Hadis yang diriwayatkan oleh periwayat tsiqah yang
menyalahi riwayat orang dha’if.”
- Hadis Syadz.
Yaitu yang diriwayatkan oleh orang terpercaya, tetapi
bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh orang yang lebih terpercaya
lagi. Jadi, sebuah hadis disebut syadz apabila terdapat di dalamnya periwayat
yang menyendiri dan bertentangan. Sementara, hadis yang lebih kuat sebagai
bandingannya disebut mahfuzh. Misalnya, sebuah hadis yang mendeskripkan
perkataan Nabi tentang sesuatu, tetapi periwayat lain yang lebih kuat
mengatakan bahwa itu adalah perbuatan beliau, bukan perkataan. Beda antara
hadis munkar dengan syadz, kalau hadis munkar diriwayatkan
oleh orang yang “lemah”, sedangkan hadis syadz diriwayatkan oleh orang
terpercaya.
Untuk sampai pada kesimpulan bahwa sebuah hadis itu syadz,
diperlukan ketekunan yang sungguh karena kegiatan-nya menghimpun matan
hadis yang temanya sama dengan jalur yang berbeda-beda.
- Hadis Mudhtharib
Mudhtharib artinya goncang. Dimaksudkan di sini adalah hadis
yang periwayatannya menyampaikan berbagai hadis yang isinya bertentangan dan
tidak dapat di kelompokkan[12]
. Pertentangan tersebut tidak dapat disatukan atau salah satunya dikalahkan.
Bila salah satunya dapat di kalahkan, maka yang menang dijadikan dalil. Atau
dapat disimpulkan bahwa pertentangan itu, yang satu menghapus (naskh) terhadap
lain, maka hadis yang menghapus dipergunakan sebagai dalil.
Adapun hadis yang diriwayatkan melalui berbagai jalur dengan
redaksi yang berbeda tetapi isinya sama, maka hadis semacam itu tidak termasuk mudhtharib,
tetapi riwayat bil-ma’na. Justru, hadis jalur satu menguatkan jalur
yang lain-nya. Misalnya, sebuah hadis yang menyebutkan bahwa Nabi menikahkan
seorang shahabat sebagai tercantum dalam hadis riwayat shahabat yang bernama
Sahal ibn Sa’ad.
- Hadis Maqlub.
Yaitu
hadis yang periwayatannya di dalam menyebut matan atau periwayat lain secara
terbalik-balik[13].
Contoh
sebuah hadis riwayat Abu Hurairah tentang perilaku sujud dalam salat: Bila
salah seorang di antara kamu bersujud, maka hendaknya ia tidak merebahkan diri
seperti onta, tetapi hendaknya ia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua
lututnya. Setelah diadakan penelitian, ternyata hadis ini berten-tangan
dengan hadis jalur lain yang mengatakan bahwa ketika sujud itu hendaknya
meletakkan tangan dulu, bukan meletakkan lutut dulu.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
- Pembahasan tentang pembagian hadis sangat komplek dan beragam menurut para ulama. Namun secara umum pembagian hadis dapat dibedakan dari hadis yang ditinjau dari segi kuantitas dan kualitas.
- Mengenai pembahasan tentang syadz dan illat adalah merupakan bagian terkecil dari pembagian hadis di atas, artinya unsur tidak adanya syadz dan tidak adanya illat hanyalah sebagai syarat diterimanya sebuah hadis.
Demikianlah
pembahasan ini kami sampaikan, tentunya sangat jauh dari kesempurnaan, sehingga
pemakalah mengharap sikap kritis temen-temen yang akan membantu perbaikan
makalah ini nantinya.
DAFTAR
PUSTAKA
Noer, Ali.
Pengantar Studi Hadts, BKS-PTAIS Riau-Kepri, Cetakan Kedua,2010
Madjid Khon, Abdul, Ulumul Hadis, Jakarta: AMZAH, 2010
Agus Sholahudin, Agus Suyadi, Ulumul Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 2010
M. Syuhudi
Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Bandung: Bulan Bintang, 1995
[1] Ali Noer. Pengantar Studi Hadts, BKS-PTAIS
Riau-Kepri, (Cetakan Kedua,2010) hal.65.
[3] (Sebagian ulama menyatakan, kata mu’allaq yang secara bahasa
berarti tergantung, diambil dari pemakaian astilah ta’liq al-Thalaq
(cerai gantung) dan ta’liq al-Jidar (dinding gantung), karena ada unsur
kesamaan dalam hal keterputusan sambungan.
[4] Kata
mursal disini, menurut bahasa, pada mulanya berarti lepas atau terceraikan
denga cepat, atau tanpa halangan. Misalnya, burung terlepas dengan cepat dari
kedua tangan. Kata terxsebut kemudian dipakaikan untuk hadis tertentu yang
periwayatnya “melepaskan” hadis tanpa terlebih dahulu mengaitkannya kepada
sahabat yang menerima riwayat ini dari dari Nabi.)
[5] Ali Noer. Pengantar Studi Hadts, BKS-PTAIS
Riau-Kepri, (Cetakan Kedua,2010), hal. 66)
[6] Kata
munqathi’ berasal dari kata kerja inqatha’a, dapat berarti yang berhenti, yang kering, yang patah, yang
pecah, atau yang putus
[7] Tadlis
adalah kata kerja jadian (masdar) dari kata kerja dallasa. Menurut bahasa,
tadlis berarti penipuan atau penyembunyian cacat. Jadi mudallas berarti yang
terdapat di dalamnya tipuan atau cacat.
[8]Abdul Madjid Khon, Ulumul Hadis,( Jakarta: AMZAH, 2010), hal. 179.
[9] Misalnya
periwayat yang memiliki kunyah Abu Bakar dalam kitab rijal al-Hadis ada lebih
dari enam puluh orang. Di antara mreka ada yang berstatus sahabat Nabi dan ada
yang tidak berstatus sahabat. Periwayat yang tidak berstatus sahabat nabi itu
ada yang berkualitas siqat dan ada yang tidak siqat.
[10] Abdul Madjid
Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: AMZAH,
2010), hal. 183.
[11] Abdul Madjid
Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: AMZAH,
2010), hal. 188.
[12] Ali Noer. Pengantar Studi Hadts, BKS-PTAIS Riau-Kepri,
(Cetakan Kedua ,2010), hal.69.
[13] Ali Noer. Pengantar Studi Hadts, BKS-PTAIS Riau-Kepri, (Cetakan Kedua, 2010),
hal. 69.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar